Laman

Jumat, 25 Mei 2012

NABI AHMAD DI DALAM AL-QUR’ÂN


Oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc.

{ وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ }

Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika ‘Îsâ Ibnu Maryam berkata, ‘ Hai Banî Isrâîl, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang bernama Ahmad.’ Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’.” (QS As-Shaff : 6)
Tafsir Ringkas

“Dan (Ingatlah)” wahai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “ketika ‘Îsâ Ibnu Maryam berkata, ‘ Hai Banî Isrâîl, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian.’.” Sebagaimana kalian beriman kepada Nabi Mûsâ, Hârûn, Dâwûd dan Sulaimân ‘alaihimussalâm, maka berimanlah kepadaku, bahwa aku adalah Rasulullah (utusan Allah) kepada kalian. Sebagai buktinya, aku “membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat,” yang mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah semata. Kesamaan antara kita menunjukkan bahwa sumber syariat kita sama, yaitu berasal dari Allah subhânahu wa ta’âla.
Selain itu, aku juga “memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku.”
Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm seperti para nabi sebelum beliau, mereka ‘alaihimussalâm selalu membenarkan  para nabi sebelumnya dan memberi kabar gembira akan datangnya nabi setelahnya. Nabi ‘Îsâ (Yesus) ‘alaihissalâm mengabarkan bahwa nama Nabi tersebut adalah Ahmad, yaitu Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
 “Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka” yaitu Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam “dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’.” Hal tersebut sama dengan apa yang dikatakan oleh Fir’aun kepada Nabi Mûsâ ‘alaihissalâm dan juga dikatakan oleh Banî Isrâîl terhadap nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm.[1]
PENJABARAN DAN TAFSIR AYAT
Siapakah Banî Isrâîl? Bolehkah menghina Israel?
Isrâîl (إِسْرَائِيْل)adalah nama Nabi Ya’qûb bin Nabi Ishâq bin Nabi Ibrahim ‘alaihimussalam. Sedangkan Banî Isrâîl (بَنِي إِسْرَائِيلَ)adalah anak-keturunan dari Nabi Ya’qûb ‘alaihissalâm. Hal ini tidak diingkari oleh orang-orang Yahudi.
Para Zionis/Yahudi telah membuat suatu negara yang dinamai dengan ISRAEL. Sebagai orang Islam, tentu kita tidak senang dengan penamaan tersebut, karena itu salah satu bentuk penghinaan terhadap Nabi Isrâîl atau Nabi Ya’qûb ‘alaihissalâm.
Negara Israel telah melakukan banyak hal yang membuat kaum muslimin murka. Akan tetapi, dibalik kemurkaan tersebut sering sekali sebagian kaum muslimin salah dalam berucap dengan mengatakan, “Terkutuk Israel! Hancurkan Israel!” atau dengan kata-kata yang semisal dengan itu. Perkataan itu sudah sepantasnya tidak “keluar” dari lisan kita, karena menghina Israil sama dengan menghina Nabi Ya’qûb ‘alaihissalâm.
Jika ingin menghina negara tersebut, maka janganlah lepaskan kata ‘negara’ dari kata ‘Israel’. Atau lebih amannya kita ganti dengan nama yang betul-betul aman dari penghinaan terhadap Nabi Ya’qub, yaitu dengan mengatakan, “Negara Zionis atau negara Yahudi.”

Apakah Nabi Ya’qub bertemu dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm?
Ya, Nabi Ya’qub ‘alaihissalâm bertemu dengan Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm. Inilah yang dikuatkan (di-râjih-kan) oleh Ibnu katsîr rahimahullâh di dalam tafsirnya dengan dalil Firman Allah subhânahu wa ta’âlâ :

{ وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ }

Artinya: “Dan Ibrâhîm telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qûb. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam!’.” (QS Al-Baqarah : 132)
Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf (yang terdahulu) membaca (يَعْقُوبُ) dengan (يَعْقُوبَ) sebagai ‘Athf dari (بَنِيهِ), yang berarti anak-anaknya. Seolah-olah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm mewasiatkan kepada anak-anaknya dan juga cucunya, yaitu Ya’qûb bin Ishâq.” [2]
Siapakah Nabi terakhir Banî Isrâîl?
Nabi ‘Îsâ bin Maryam ‘alaihis-salâm adalah nabi terakhir Banî Isrâîl.[3] Akan tetapi, kenabian Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm tidak diakui oleh sebagian Banî Isrâîl atau orang-orang Yahudi.
Pengabaran akan datangnya Nabi Ahmad shallallâhu ‘alaihi wa sallam oleh Nabi Ibrahim ‘alahissalâm dan Nabi Îsâ ‘alaihissalâm
Setiap Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ diikat dengan perjanjian oleh Allah untuk mengabarkan tentang akan diutusnya Rasulullah, yaitu Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Apabila beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam diutus, maka mereka harus mengikutinya, mendukung dan berjuang untuknya.
Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{ وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ .}

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’. Allah berfirman: ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab: “Kami mengakuinya.’ Allah berfirman: “Kalau begitu, saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.’.” (QS Âli ‘Imrân : 81)
Ibnu ‘Abbâs radhiallâhu ‘anhu bekata, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali Allah membuat perjanjian kepadanya, apabila dia (Nabi Muhammad) diutus, sedang Nabi tersebut hidup, maka dia akan mengikutinya. Dan Allah memerintahkan agar dia memerintahkan kepada umatnya, apabila Muhammad diutus sedangkan mereka hidup, maka mereka harus mengikutinya dan menolongnya.”[4]
Nabi Ibrâhîm ‘alahissalâm mendoakan agar diutusnya Nabi tersebut di kaum yang berada di sekitar Ka’bah setelah beliau dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam membangun Ka’bah. Doa tersebut tercantum di dalam Al-Qur’an:

{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ}

Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Baqarah : 129)
Begitu pula Nabi ‘Îsâ bin Maryam ‘alaihissalâm, beliau mengabarkan tentang akan datangnya Nabi setelahnya yaitu Nabi Ahmad shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tercantum pada ayat di atas.
Di dalam hadîts, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Abu Umâmah, “Ya Nabi Allah! Apa permulaan kenabianmu?” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:

( دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ وَبُشْرَى عِيسَى ، وَرَأَتْ أُمِّي أَنَّهُ يَخْرُجُ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ مِنْهُ قُصُورُ الشَّامِ. )

Artinya: “Doa bapakku Ibrâhîm, kabar gembira dari Îsâ dan ibuku melihat cahaya yang keluar dari dirinya yang menerangi istana-istana Syam.”[5]
Kabar tentang akan datangnya Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga tercantum di Taurat dan Injil. Allah subhânahu wa ta’âlâ mengabarkan di dalam Al-Qur’an:

{ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا }

Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan ke-ridha-an-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS Al-Fath : 29)
Sekarang ini, orang-orang Yahudi dan Nasrani mengingkari pernyataan di atas, Bagaimana ini?
Orang-orang Yahudi dan Nasrani disifatkan oleh Allah sebagai kaum yang suka merubah kitab suci mereka. Jadi, merupakan suatu yang wajar jika mereka menyembunyikan hal ini. Padahal mereka semua meyakini kebenaran hal tersebut. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ }

Artinya: “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 146)
Ahmad adalah salah satu nama Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa beliau memiliki banyak nama. Di antara nama beliau adalah Ahmad, sebagaimana tercantum pada hadits berikut:

( لِي خَمْسَةُ أَسْمَاءٍ أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَحْمَدُ وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللَّهُ بِي الْكُفْرَ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِي وَأَنَا الْعَاقِبُ. )

Artinya: “Saya memiliki lima nama: Saya adalah Muhammad dan Ahmad, saya adalah Al-Mâhi yang denganku Allah menghapuskan kekufuran, saya adalah Al-Hâsyir yang manusia nanti dikumpulkan di hadapanku dan saya adalah Al-‘Âqib (Yang terakhir).”[6]


Arti dari nama ‘Ahmad (أحمد)’
Ahmad berasal dari kata ‘hamd’ yang berarti pujian. Di dalam bahasa Arab, ‘Ahmad’ memiliki tiga arti:
  1. Menunjukkan makna paling/yang ter-  (Shîghah Al-Mubâlaghah) untuk kata ‘hâmid’ (orang yang memuji). Jadi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memuji Allah subhânahu wa ta’âlâ. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ ، وَبِيَدِي لِوَاءُ الحَمْدِ وَلاَ فَخْر. )

Artinya: “Saya adalah pemimpin anak Adam di hari kiamat dan aku tidak sombong. Di tanganku ada bendera puji-pujian dan aku tidak sombong. “[7]
  1.  Menunjukkan makna paling/yang ter- untuk kata ‘mahmûd’ (orang yang dipuji). Jadi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak dipuji oleh semua makhluk. Bahkan, Allah sendiri memuji beliau di dalam Al-Qur’an dengan sifat-sifat mulia dan di dalam Al-Qur’an Allah tidak pernah memanggilnya dengan namanya, tetapi dengan mengatakan, (يَا أَيُّهَا النَّبِي) dan (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْل) berbeda dengan Nabi-nabi yang lainnya, mereka dipanggil dengan namanya.
  2. Menunjukkan simbol dari kata ‘Muhammad (مُحَمَّد)’. Arti dari Muhammad adalah orang yang banyak dipuji dan di dalam bahasa Arab dapat disimbolkan dengan kata ‘Ahmad’.[8]
Tidak ada Nabi setelah Nabi Ahmad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Sangat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Ahmad atau Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ dan tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

{ مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا }

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzâb : 40)

( كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي. )

Artinya: “Dulu Banî Isrâîl dipimpin oleh para Nabi. Jika ada nabi yang wafat, maka akan digantikan oleh seorang nabi. Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku.”[9]
Kedua dalil di atas sangat jelas menunjukkan bahwa tiada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena siapa saja yang mengaku bahwa dia adalah seorang Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya dia adalah Kadzdzab (pendusta).
Pengabaran Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa akan muncul nabi-nabi palsu
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa sepeninggal Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan ada orang-orang yang mengaku Nabi. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(…وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي. )

Artinya: “Sesungguhnya di dalam umatku akan ada tiga puluh pendusta. Semuanya mengaku bahwa dia adalah nabi, sedangkan saya adalah penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku.” [10]
Setelah membaca dalil di atas, maka tidak ada alasan untuk membenarkan ajaran-ajaran nabi-nabi palsu yang baru seperti: Mirza Ghulam Ahmad, Lia Eden dan sejenisnya. Mereka bukanlah kaum muslimin dan jangan ragu untuk mengatakan bahwa mereka bukan beragama Islam.
Pengingkaran Banî Isrâîl atas apa yang dibawa oleh Nabi  Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Di akhir ayat, subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ}

“Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.”
Inilah tuduhan yang dituduhkan kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang kafir menuduh beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai penyihir karena beliau membawa mukjizat yang tidak masuk akal. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan ‘Rasul’ pada ayat di atas adalah Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm. Karena Banî Isrâîl juga mengatakan bahwa beliau ‘alaihissalâm adalah penyihir. Allahu a’lam, tidak ada pertentangan dari keduanya.
Tamma bifadhlillâhi wa karamih.
Prabumulih, 28 Jumâdâ Ats-Tsâniah 1432 H/31 Mei 2011

Sumber :
http://kajiansaid.wordpress.com/2011/07/24/nabi-ahmad-di-dalam-al-qur%E2%80%99an/

DaftarPustaka
  1. Al-Qur’ân dan Terjemahannya. Madînah: Kompleks Percetakan Mushhaf Raja Fahd.
  2. Adhwâul-Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân. Muhammad Al-Amîn Asy-Syinqîthi. 1415 H/1995 M. Libanon: Dârul-Fikr.
  3. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  4. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tinusia: Dar Sahnûn.
  5. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
  6. Tafsîr Al-Qur’ân Al-’Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
  7. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
  8. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.


[1] Tafsîr As-Sa’di hal. 859 dan Aisarut-Tafâsîr pada tafsir ayat ini.
[2] Tafsir Ibni Katsir I/446.
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir VIII/109.
[4] Tafsir Ibni Katsir VIII/110.
[5] HR Ahmad no. 22261, Al-Hakim no 4173, Ibnu Hibban no. 6404 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan, “Hadits ini shahih lighairih.” di catatan kakinya pada Musnad Ahmad dan Shahih Ibni Hibban.
[6] HR Al-Bukhari no. 3532 dan Muslim no. 6251.
[7] HR At-Tirmidzi no. 3148. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Sunan At-Tirmidzi.
[8] Lihat penjelasan di atas di dalam Ma’âlimut-Tanzîl VÎI/108-109 dan At-Tahrîr wa At-Tanwîr XXVIII/163-165.
[9] HR Al-Bukhari 3455 dan Muslim 4879.
[10] HR At-Tirmîdzi no. 2219. Beliau berkata, “Hadîts ini shahîh.”Hadîts ini di-shahîh-kan juga oleh Syaikh Al-Albâni di Shahîh Sunan At-Tirmîdzi.

Selasa, 22 Mei 2012

Puasa sunnah pada bulan rajab.


"Tidak ada hadits shahih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab, 
baik pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, atau pada keseluruhannya".

 
Tidak ada hadits shahih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab, baik pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, atau pada keseluruhannya. Sedangkan hadits-hadits yang menunjukkan adanya puasa model di atas, statusnya maudhu' (palsu). Di antaranya, hadits yang menyebutkan: 
"Siapa yang puasa tiga hari pada bulan Haram, yaitu hari Kamis, Jum'at, dan Sabtu, maka Allah akan mencatat baginya pahala ibadah 700 tahun," dan dalam riwayat lain, "60 tahun". 
Hadits lainnya,
 "Puasa hari pertama dari bulan Rajab merupakan kafarat (penghapus dosa) untuk tiga tahun, pada hari kedua sebagai kafarat untuk dua tahun, lalu pada setiap harinya untuk kafarat selama satu bulan." Hadits yang lain yangtidak kalah masyhur, "Rajab adalah syahrullah (bulan Allah), Sya'ban adalah bulanku (Nabi Muhammad), dan Ramdlan adalah bulan umatku." Semua riwayat ini adalah palsu dan dusta.
Sedangkan mengisi bulan Rajab dengan puasa sebulan penuh telah diingkari oleh para ulama. Beberapa sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diantaranya Aisyah, Umar bin Khaththab, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum jami’an telah mengingkari orang yang berpuasa penuh di bulan Rajab atau mengkhususkan puasa di bulan Rajab.
Ibnu Rajab berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentang keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab."
Diriwayatkan dari Umar bin Khathab radliyallahu 'anhu, bahwa beliau pernah memaksa seseorang untuk membatalkan puasa Rajab dan berkata, "Apa itu (puasa) Rajab? Sesungguhnya Rajab diagungkan oleh orang Jahiliyah, maka ketika datang Islam hal itu ditinggalkan."
Ibnul Hajar berkata dalam Tabyin al-'Ajab bimaa Warada fii Fadhli Rajab : "Tidak terdapat dalil shahih yang layak dijadikan hujah tentang keutamaan bulan Rajab dan tentang puasanya, tentang puasa khusus padanya, dan qiyamullail (shalat malam) khusus di dalamnya." 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits-hadits keutamaan berpuasa dan shalat khusus di bulan Rajab, “Seluruhnya dusta menurut kesepakatan para ulama.”
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada keutamaan khusus yang dimiliki oleh bulan Rajab dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, tidak dikhususkan umrah, puasa, shalat, membaca Al-Qur'an bahkan dia sama saja dengan bulan haram lainnya. Seluruh hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat atau puasa padanya maka derajatnya lemah yang tidak boleh dibangun di atasnya hukum syar’i”
Namun bukan berarti berpuasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, tiga hari setiap bulan, Puasa Dawud, atau puasa mutlak pada bulan Rajab tidak diperbolehkan. Ibnu Shalah rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits shahih yang melarang atau menganjurkan secara khusus berpuasa di bulan Rajab maka hukumnya sama saja dengan bulan lainnya yaitu anjuran berpuasa secara umum."
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak ada larangan demikian pula anjuran secara khusus untuk berpuasa di bulan Rajab akan tetapi secara umum hukum asal puasa adalah dianjurkan." 

 
Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Senin, 21 Mei 2012


Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab
Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)
Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.
‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab
Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.
Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)
Perayaan Isro’ Mi’roj
Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?
Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”
Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)
Catatan penting:
Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,
“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H
***


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-di-bulan-rajab.html

Jumat, 18 Mei 2012

Sejarah Penulisan, Pengumpulan, dan Penyalinan al-Quran



 Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)


Oleh Umar Abdullah

Tak henti-hentinya kaum liberal berusaha menghambat kembalinya kaum muslimin menerapkan Syariat Islam. Salah satunya adalah dengan membuat kaum muslimin ragu-ragu akan keotentikan Mushhaf al-Qur`an sebagai wahyu Allah. Jika kaum muslimin telah ragu terhadap orisinalitas al-Qur`an sebagai wahyu Allah, maka syariat Islam semakin bisa dihambat penerapannya. Manusia-manusia jahat itu banyak memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang sejarah penulisan, pengumpulan dan penyalinan al-Qur`an. Oleh karena itu, sangat penting penyampaian Sejarah Penulisan, Pengumpulan, dan Penyalinan al-Qur`an.
 
PENULISAN AL-QUR`AN

Ketika diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul saw langsung menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis.
Mengenai lembaran-lembaran ini Allah SWT berfirman:
Rasuulun minallaaHi yatluu shuhufan muthaHHarah
Artinya:
(yaitu) seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an) (QS. Al-Bayyinah [98]: 2)
Rasulullah saw mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan al-Qur`an berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada para penulis wahyu. Rasulullah saw bersabda:
Laa taktubuu ‘annii, wa man kataba ‘annii ghairal qur`aani falyamhuHu
Artinya:
Janganlah kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain al-Qur`an hendaknya ia menghapusnya. (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an karena Allah telah menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang jelas:
Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9)
Rasulullah saw gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat terbesarnya yang dapat digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di seluruh dunia
Ketika Nabi saw wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran, tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan para sahabat ra.
* * *
PENGUMPULAN AL-QUR`AN
Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra, terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan  banyak sekali para qurra’/ para huffazh (penghafal al-Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an akibat wafatnya para huffazh. Maka beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di lembaran-lembaran.
Zaid bin Tsabit ra berkata:
Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang korban Perang Ahlul Yamamah. Saat itu Umar bin Khaththab berapa di sisinya.
Abu Bakar ra berkata, bahwa Umar telah datang  kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa para qurra’ (para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap para qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar al-Qur`an.”
Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul saw?”
Umar menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik.”
Umar selalu mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar tentang perkara itu. Lalu Abu Bakar berpendapat seperti apa yang dipandang oleh Umar.
Zaid bin Tsabit melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah mengatakan kepadaku, “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw sehingga engkau selalu mengikuti al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia.”
Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan al-Qur`an.
Aku bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?”
Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang-ulang perkataaannya sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang telah diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar ra.
Maka aku mulai menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan para sahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu ayat:
Laqad jaaa`akum rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaiHi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum bil mu`miniina ra`uufur rahiim
Artinya:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah [9]: 128)
Pengumpulan al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah saw. Lembaran-lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat: 1) Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2) Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Saking telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-Taubah tsb ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-Qur`an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja.
Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan al-Qur`an untuk ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah saw ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran al-Qur`an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat Umar.
* * *
PENYALINAN AL-QUR`AN
Kemudian datanglah masa pemerintahan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan ra. Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur`an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca al-Qur`an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.  Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah. Kedua matanya merah.
Hudzaifah berkata, “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Amirul Mu`minin, sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu.”
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman menghadap Amirul Mu`minin Utsman bin Affan di Madinah.
Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang al-Kitab (al-Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.”
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an itu kepada Utsman.
Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?”
Dijawab, “Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit.”
Utsman bertanya lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?”
Dijawab, “Said bin al-‘Ash.
Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan al-Qur`an.”
Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”.
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said bin al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran al-Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Qur`an diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Qur`an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut  ke dalam mushhaf, Utsman segara mengembalikannya kepada Hafshah.
Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar.
Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi para pembaca al-Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya.
Dengan demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya al-Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari al-Qur`an kecuali hal itu akan terungkap.
Allah SWT berfirman:
Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Oleh karena itu, tidak perlu kita ragu-ragu terhadap orisinalitas al-Qur`an. Tak perlu kita terprovokasi tipu daya orang-orang liberal yang berupaya membuat kita ragu-ragu terhadap al-Qur`an. Orang-orang liberal itu memang telah berguru kepada para orientalis yang mempelajari al-Qur`an bukan untuk mengimaninya, bukan untuk menerapkan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Mereka mempelajari al-Qur`an untuk mencari-cari cara agar bisa melemahkan aqidah umat Islam. Semoga Allah menghancurkan rencana-rencana mereka. Semoga Allah membuat sakit yang ada pada hati mereka semakin parah dan semakin parah. Semoga Allah segera membinasakan mereka karena sakit itu. Amin ya Allah ya Mujiibas saa`iliin.[]

Sumber : http://mediaislamnet.com/2010/08/sejarah-penulisan-pengumpulan-dan-penyalinan-al-quran/

inilah salah satu tanda keagungan mengapa Alquran diturunkan dalam bahasa Arab.

jikalau Alquran itu diturunkan dengan semua bahasa, tentu akan banyak perbedaan penafsiran kata disetiap wilayah dan perubahan yang susah dipantau dan dideteksi kebenarannya.

jikalau Alquran di Indonesia dimusnahkan dan dibakar, akan datang jutaan Hafidz (Penghafal) Alquran dari seluruh penjuru dunia untuk menggantikannya dengan hafalan yang sama, surah yang sama, ayat yang sama, dan huruf yang sama. begitulah salah satu cara Allah Swt. menjamin kemurnian Alquran.

* mari kita bahas sedikit saja RAHASIA Alquran.kadang Allah Swt. menggunakan kata "AKU", "ALLAH", DIA" didalam Al Qur'an (dalam bahasa Arab adalah "ANA" juga "INNI" atau kata kerja yang diakhiri dengan huruf "TU", atau juga langsung dengan lafadz "Allah" sendiri, begitu pula dengan kata "Dia" / "Huwa" dalam bahasa Arab).


contoh Ayat,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ وَجَعَلَ لَهُمْ أَجَلا لا رَيْبَ فِيهِ فَأَبَى الظَّالِمُونَ إِلا كُفُورًا

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya? Maka orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran."
(Al-Israa' Ayat 99)

dengan maksud SUATU PENCIPTAAN YANG TIDAK MELIBATKAN MAKHLUQ MANAPUN, umumnya ALLAH SWT mengatakan "ANA" / "INNI" (AKU) atau juga "HUWA" (DIA) bisa juga lafadz "ALLAH" sendiri.

"MENUNJUKKAN" HANYA ALLAH SWT SENDIRI YANG MENCIPTAKAN. TIDAK ADA UNSUR LAIN / MAKHLUQ LAIN (SEKUTU) YG MEMBANTU PENCIPTAANNYA.

maknanya menunjukkan kekuatan-Nya yang Maha Dahsyat. tidak ada makhluq pun yang dapat menyamai Keagungan & Kekuatan Penciptaan-Nya Yang Luar Biasa.



contoh Ayat yang lain,

وَخَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِالْحَقِّ وَلِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ

"Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan." (Al-Jaatsiyah Ayat 22)


maksudnya, Allah Swt. sendiri yang menciptakan langit & bumi tanpa ada keterlibatan makhluq lainnya yang membantu.


kadang Allah Swt juga menggunakan kata "KAMI" didalam Alquran (dalam bahasa Arab adalah "NAHNU" juga "INNA" atau kata kerja yang diakhiri dengan huruf "NAA").
orang Arab tentu akan paham, atau juga orang yg mondok di pesantren yg bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa Arab (seperti Pondok Pesantren Gontor dan laen²) tentu tau makna penggunaan kata "Nahnu (kami)".

Contoh 1 : "Nahnu (kami)" memang bisa digunakan untuk lebih dari satu yaitu "kami" (plural - jamak - banyak),
bisa juga untuk "satu orang" yaitu yg dimaksudkan "saya-sendiri" dengan makna "kemuliaan". (dalam Bahasa Arab)

Contoh 2 : "Antum (kalian)" memang bisa digunakan untuk lebih dari satu yaitu "Kalian" (plural - jamak - banyak),
bisa juga untuk "satu orang" yaitu yg dimaksudkan "Anda" dengan makna "kemuliaan". (dalam Bahasa Arab)
(bukan kata "kamu", yg tidak sopan diucapkan kepada orang tua)

kata "Antum (kalian)", biasanya digunakan oleh para Santri (Murid) untuk memanggil sang Guru (Kyai) (yg seorang diri - bukan jamak/plural). artinya sangat dianggap TIDAK SOPAN jika Santri mengobrol dengan Kyai-nya memanggil dengan kata "ANTA (kamu)", bukan "ANTUM". Bukan berarti "Antum" ini bermakna "kalian" (jamak) akan tetapi BERMAKNA satu untuk "PENGHORMATAN".

Ya, untuk SEBUAH "PENGHORMATAN DAN PENGAGUNGAN".

blum paham? atau paham sedikit?...
mari kita belajar sdikit bahasa Arab dan Inggris 20 detik saja.

I (am) = saya, aku.
You = kamu
We = kami
They = Mereka
He = dia (laki-laki)
She = dia (wanita)
It = dia (benda & hewan)
mari bandingkan dengan bahasa Arab... (sowry, keyboard windows ane ga support ngetik arabic, penyebutannya aje ye)
Huwa = dia (laki-laki)
Huma = dia berdua (laki-laki)
Hum = mereka (laki-laki)
Hiya = dia (perempuan)
Huma = dia berdua (perempuan)
Hunna = mereka (perempuan)
Anta = kamu (laki-laki)
Antuma = kamu berdua (laki-laki)
Antum = kalian (laki-laki)
Anti = kamu (perempuan)
Antuma = kamu berdua (perempuan)
Antunna = kalian (perempuan)
Ana = Saya, Aku
Nahnu = Kami
belum lagi jika digabungkan dengan 'kata kerja', maka akan berubah. contoh kata "fa'ala" (melakukan / "do" dalam english) ditempatkan dengan kata-kata diatas maka akan menjadi: "yaf'alu" (dia (seorang lak-laki) melakukan...), "yaf'alaani" (dia dua orang lak-laki melakukan...), "yaf'aluuna" (mereka (laki-laki) melakukan...), dan seterusnya.... puannjaang dee pokoke...
(sekadar deskripsi bahwa ilmu bahasa Arab itu luas, grammar-nya berbeda dengan bahasa Inggris, ataupun bahasa Indonesia, apalagi bahasa lainnya).

-----> artinya, kita harus mengembalikan makna kata dalam Alquran ke BAHASA ASLINYA, yaitu BAHASA ARAB.





Ok, kembali... lalu mengapa ALLAH SWT menggunakan kata "NAHNU" (KAMI) ???


contoh Ayat,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah." (Al-Mu'minuun Ayat 12)
kadang Allah Swt. memaksudkan (dalam Alquran) suatu penciptaan  yang melibatkan oknum lain dalam  penciptaan tersebut sebagai proses, umumnya ALLAH SWT mengatakan "NAHNU" (KAMI), dan juga kadang ALLAH SWT menggunakan kata "ANA" (AKU) di Ayat lainnya.

maknanya, ketika Allah Swt. menciptakan manusia, ada unsur lain yang menjadi PROSES PENCIPTAANNYA. yaitu adanya pertemuan ayah & ibu, bertemunya  sel sperma & sel telur. ada PROSES inilah yang kemudian RAHASIA AL QUR'AN mengapa Allah Swt. menggunakan lafadz "NAHNU (KAMI)".




contoh ayat yang sepadan, Allah Swt. mengatakan "Kholaqnaa" yaitu "Kami (menciptakan)"

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal." (Al-Hujuraat Ayat 13)





Lalu Bagaimana dengan ayat...
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam”. (Al-Anbiyaa' Ayat 107)


kata Arsalna ( أَرْسَلْنَا 'Kami mengutus') berasal dari kata dasar "Arsala" أَرْسَلْ (yg mempunyai arti; mengutus, memberikan risalah, mengantarkan risalah).

sebagaimana penjelasan sebelumnya diatas, kata "KAMI" yg Allah Swt. maksudkan karena ADANYA OKNUM / UNSUR LAIN DALAM PROSES PENGUTUSAN. YAITU "MALAIKAT JIBRIL" SEBAGAI PENGANTAR WAHYU ALLAH SWT. makanya Allah Swt. menggunakan Kata "NAHNU" (KAMI).

"Menjadi Rahmat" tidak berarti hanya "diri Nabi Muhammad saw." saja, akan tetapi dengan "MUKJIZAT ALQURAN (WAHYU - dari Allah Swt. melalui Malaikat Jibril) dan juga SUNNAH NABI SAW (perilaku & akhlaq beliau selama hidup).


kadang ALLAH SWT menunjukkan kata "INNI" (AKU) dan "NAHNU" (KAMI) didalam Alquran adalah "LITTA'DZHIIM" (menunjukkan Keagungan & Kebesaran).


مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ

"Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka." (Al-Ahqaaf Ayat 3)


menjelaskan sesuatu Yang BESAR, AGUNG, MULIA, DAHSYAT.
contoh, dijelasin bahwa bumi itu mengitari matahari, itu saja. padahal tidak hanya sampai disitu saja. bahkan matahari pun berputar mengitari galaksi sebagaimana bumi mengitarinya. dan masing-masing mempunyai jalur lintasannya sendiri. memiliki jarak dan waktu tersendiri. semua bergerak. menakjubkan!

Ayat lainnya, (menunjukkan Keagungan dan Kebesaran Penciptaan-Nya)


وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah." (Adz-Dzaariyaat Ayat 49)


ada langit ada bumi, ada siang ada malam. dll.

tapi kadang di Ayat lain Allah juga menggunakan kata "Aku",



وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." 
(Adz Dzaariyaat : Ayat 56)



kata "KAMI" (memahaminya dalam Bahasa Arab) dalam Alquran bukan bermakna "TUHAN ITU LEBIH DARI SATU". Akan tetapi sebagai TA'DZHIIM (PENGAGUNGAN). karena Ayat yang lain mengatakan ALLAH, TIADA TUHAN SELAIN DIA.


اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)."
(Al-Baqarah Ayat 255)

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (Maha Satu)."
(Al-Ikhlas Ayat 1)

mudah-mudahan bisa dipahami, walau sedikit.
jika ingin lebih banyak referensi, silahkan membaca Tafsiran dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Jalalein, atau yg dari Indonesia saja seperti Tafsir Al Mishbah, dari Prof. DR. Quraisy Shihab.
Tafsiran-tafsiran seperti ini tidak akan Anda temukan dalam Alquran Terjemahan, baik dari DEPAG maupun yg digital. makanya para Ahlinya (Ulama Tafsir) yang Fasih dan Alim (Luas Ilmunya) menulis Tafsir Alquran ini karena Ilmu Alquran itu SANGATLAH LUAS.

Wallohu Ta'ala A'lam.