Laman

Kamis, 18 Juli 2013

PUASA




Puasa, yang di dalam bahasa Al-Qur'an Ash-Shaum/Ash-Shiyam adalah salah satu dari beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang-orang beriman.
Firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa. 
[QS. Al-Baqarah : 183]






1. Pengertian Ash-Shiyam (Puasa)
Ash-Shiyam atau Ash-shaum menurut lughah/bahasa, artinya : "Menahan diri dari melakukan sesuatu". Seperti firman Allah :
Sesungguhnya aku telah bernadzar akan berpuasa karena Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang
manusiapun pada hari ini.
[QS. Maryam : 26]

Menurut Syara', ialah :
Menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, mulai fajar hingga Maghrib, karena mengharap ridla Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah dan
mendidik kehendak.
[Tafsir Al-Manaar juz 2, hal. 143]


Menahan diri dari makan, minum, jima' dan lain-lain yang telah diperintahkan syara’ kepada kita menahan diri padanya, sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan keji/kotor dan lainnya dari perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan pada waktu yang telah ditentukan serta menurut syaratsyarat yang telah ditetapkan.
[Subulus Salaam juz 2, hal. 150]

Tegasnya : "PUASA", ialah : Menahan diri untuk tidak makan, minum termasuk merokok dan bersetubuh dari mulai Fajar hingga terbenam matahari pada bulan Ramadlan karena mencari ridla Allah.

2. Hukum Ash-Shiyam (Puasa)
Wajib 'Ain, artinya setiap orang Islam yang telah baligh (dewasa) dan sehat akalnya serta tidak ada sebab-sebab yang dibenarkan agama untuk tidak berpuasa, maka mereka itu wajib melakukannya, dan berdosa bagi yang meninggalkannya dengan sengaja.
Firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. 
[QS. Al-Baqarah : 183]

Dan hadits-hadits Rasulullah SAW :
Islam didirikan atas lima sendi, yaitu
1. Mengakui bahwa tak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad pesuruh Allah, 2.
Mendirikan Shalat, 3. Menunaikan zakat, 4. Berpuasa Ramadlan dan 5.Berhajji.
[HR. Bukhari dan Muslim]

Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, saya mohon diterangkan tentang puasa yang diwajibkan oleh Allah kepada saya". Nabi SAW menjawab, "Puasa di bulan Ramadlan". Orang itu bertanya pula, "Adakah puasa yang lain yang diwajibkan atas diri saya ?". Jawab Nabi SAW, "Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan tathawwu' (puasa sunnah).
[HR. Muttafaq 'Alaih dari Thalhah bin 'Ubaidillah]

3. Yang wajib berpuasa
Ketentuan-ketentuan orang yang berkewajiban menjalankan puasa di bulan Ramadlan :
a. Orang Islam, tidak diwajibkan selain orang Islam.
b. 'Aqil baligh (dewasa), bukan anak-anak.
c. Sehat.
d. Muqim (berada di daerah tempat tinggalnya/daerah iqomahnya),
bukan sebagai musafir.
e. Kuat, yakni tidak memaksakan diri karena sangat berat dan payah
bila berpuasa.
f. Khusus bagi wanita pada waktu suci, artinya tidak sedang haidl atau
nifas.

4. Yang membatalkan puasa
Sepanjang tuntunan Allah dan Rasul-Nya hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut :
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187,

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteriisteri kamu; mereka itu pakaian bagimu, dan kamupun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi keringanan kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam ..... . 
[QS. Al-Baqarah: 187]

Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa yang membatalkan puasa itu ialah :

a. Bersetubuh suami-isteri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa (dari mulai masuk waktu Shubuh hingga masuk waktu Maghrib),padahal mereka termasuk orang yang berkewajiban puasa. Dan yang dimaksud dengan "bersetubuh", ialah masuknya kemaluan lakilaki/suami pada kemaluan wanita/istri. Jadi baik mengeluarkan mani maupun tidak, hukumnya tetap sama. Karena tidak adanya ayat-ayat lain maupun hadits-hadits yang membatasi, bahwa yang dimaksud "bersetubuh" adalah yang mengeluarkan mani, maka ayat itu tetap berlaku sesuai dengan keumuman lafadhnya.
b. Makan dengan sengaja, baik makanan yang mengenyangkan atau
tidak.
c. Minum, baik yang menghilangkan haus atau tidak, termasuk merokok.

5. Yang boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari-hari yang lain :
a. Orang yang sakit, yang apabila ia tetap berpuasa akan menambah berat atau akan memperlambat kesembuhan sakitnya, sedang sakitnya itu dapat diharapkan kesembuhannya (bukan sakit yang menahun atau sakit yang kronis dan terus-menerus sehingga sulit diharapkan kesembuhannya).
b. Musafir, ialah : Orang yang sedang bepergian keluar dari daerah iqomahnya, baik dengan perjalanan yang berat dan sukar maupun dengan ringan dan mudah; kesemuanya diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dan berkewajiban mengganti di hari yang lain. Berdasarkan firman Allah :
Dan barangsiapa diantara kamu yang sakit atau dalam bepergian
(musafir) ~maka bolehlah ia berbuka~ dan mengganti di hari-hari yang
lain (sebanyak yang ditinggalkannya). 
[QS. Al-Baqarah : 184].

Dan barangsiapa yang sakit atau dalam bepergian (musafir) ~maka
bolehlah ia berbuka~ dan mengganti di hari-hari yang lain (sebanyak
yang ditinggalkannya).
[QS. Al-Baqarah : 185].

6. Batas waktu mengganti
Tidak ada ketentuan dalam agama tentang batas waktu mengganti puasa yang ditinggalkan. Dapat dilaksanakan pada bulan-bulan sesudah selesai Ramadlan tahun itu atau bulan-bulan sesudah Ramadlan tahun berikutnya.Tegasnya selama ia masih hidup, kapanpun boleh, tanpa menambah fidyah atau melipat gandakan puasanya (misalnya hutang satu hari diganti dua hari dan sebagainya). Hanya sebaiknya segera diganti.

7. Yang boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain.
Yaitu : Orang-orang yang bila dipaksakan untuk berpuasa masih dapat,tetapi sungguh amat payah sekali dalam melaksanakannya. Perhatikan
Firman Allah :
Dan terhadap orang-orang yang bisa berpuasa tetapi dengan susah payah (boleh tidak berpuasa), wajib membayar fidyah.
[QS. Al-Baqarah :184]

Ayat tersebut umum, maka siapa saja yang walaupun mampu berpuasa tetapi dengan amat payah (rekoso) dalam menjalankannya, maka termasuk yang dimaksud oleh ayat di atas, misalnya :
a. Wanita yang sedang hamil yang bila berpuasa dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan pada dirinya dan/atau anak yang dikandungnya.
b. Wanita yang sedang menyusui, baik anaknya sendiri maupun anak orang lain yang diserahkan kepadanya untuk disusui, yang bila dipaksakan untuk berpuasa akan sangat berat bagi dirinya dan/atau
bagi anak yang sedang disusuinya itu. Rasulullah SAW bersabda :
Bahwasanya Allah SWT telah membolehkan bagi musafir meninggalkan puasa dan mengqashar shalat, dan Allah telah membolehkan perempuan hamil dan yang sedang menyusui meninggalkan puasa.
[HR. Ahmad dari Anas bin Malik Al-Ka'bi].

Dan riwayat dari Ibnu Abbas RA. tentang istrinya yang sedang hamil, katanya : Engkau sekedudukan dengan orang yang amat payah untuk berpuasa. Maka wajib atasmu fidyah dan tidak ada qadla' bagimu. [HR.Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Ad-Daruquthni]

Serta riwayat dari Ibnu 'Umar ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Quraisy yang sedang hamil tentang hal puasanya, maka jawab beliau :
Berbukalah kamu dan berilah makan tiap hari seorang miskin, dan jangan mengqadla'nya.
[HR. Ibnu Hazm].

c. Orang yang lanjut usia/orang tua yang apabila berpuasa akan sangat memayahkannya. Berdasar keumuman ayat (Surat Al-Baqarah ayat 184) dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas sebagai berikut :
Orang yang sangat tua, dibenarkan untuk berbuka dan wajib memberikan (fidyah) serta tidak ada qadla' atasnya.
[HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim].
d. Orang yang pekerjaannya sangat berat, yang bila tetap berpuasa walaupun ia kuat akan sangat berat dan memayahkannya. Misalnya : Pengemudi becak, pekerja tambang, karyawan-karyawan pengangkat
barang di stasiun, terminal, pelabuhan dan sebagainya.
e. Orang yang sakit menahun yang (menurut ahli kesehatan) sulit diharapkan sembuhnya, atau walaupun sembuh tetapi memakan waktu yang lama sekali.
f. Siapa saja yang karena kondisi badannya atau sebab-sebab lain akan amat berat sekali bila berpuasa, walaupun bila dipaksa akan kuat juga. Untuk nomor d), e) dan f), ini pun dasarnya adalah keumuman lafadh dari ayat 184 surat Al-Baqarah diatas.
Semua yang tersebut diatas, boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain.

8. Yang wajib untuk tidak berpuasa dan wajib mengganti dengan
puasa di hari yang lain.
Yaitu khusus bagi wanita yang sedang haidl atau nifas. Berdasar riwayat :
Dari 'Aisyah, bahwa ia berkata, "Adalah kami haidl dimasa Rasulullah SAW maka kami diperintahkan supaya mengqadla’ (mengganti) puasa dan kami tidak diperintahkan mengqadla’ shalat".
[HR. Al-Jama'ah dari Al-Mu'adzah]

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Sa'id, bahwa Nabi SAW bersabda:
Bukankah apabila seorang wanita itu haidl, ia tidak shalat dan tidak berpuasa ? Itulah dari kekurangan agamanya.
[HR. Bukhari juz 2, hal. 239]

1. Pengertian Sahur
Sahur, ialah makanan yang dimakan pada waktu sahar. Sahar menurut bahasa ialah "Nama bagi akhir suku malam dan permulaan suku siang". Lawannya ialah : Ashil, akhir suku siang. Menurut Az-Zamakhsyari, dinamai waktu Sahar dengan Sahar karena ia adalah waktu berlalunya malam dan datangnya siang. Dengan demikian,jelaslah bahwa Sahar bukanlah satu atau dua jam sebelum terbit fajar, namun yang dimaksud adalah nama waktu pergantian siang dan malam. Jadi apabila kita makan pada jam 24.00 (jam 12 malam) atau sedikit setelah itu tidaklah dapat dinamakan "Bersahur (mengerjakan makan Sahur)".
Adapun yang dinamakan makan Sahur adalah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW pada riwayat di bawah ini :
Dari Anas dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, "Kami pernah bersahur bersama Rasulullah SAW kemudian kami mengerjakan shalat (Shubuh)". Aku (Anas) bertanya kepada Zaid. "Berapa tempo antara keduanya ?". Zaid menjawab, "Sekadar membaca 50 ayat Al-Qur'an".
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
2. Hikmah Sahur
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Sa'id bahwa Nabi SAW bersabda :
Sahur itu suatu berkah. Maka janganlah kamu meninggalkannya,walaupun hanya dengan meneguk seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas orang yang bersahur.
[HR.Ahmad]

Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Amr bin 'Ash bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab ialah makan sahur.
[HR. Muslim].

3. Keraguan tentang waktu Sahur
Bila seseorang ragu apakah telah habis waktu ataukah belum, maka ia
diperbolehkan makan dan minum hingga nyata-nyata baginya bahwa
waktu sahur telah habis dan masuk waktu shubuh. Firman Allah :
Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab ialah makan
sahur.
[HR. Muslim].

3. Keraguan tentang waktu Sahur
Bila seseorang ragu apakah telah habis waktu ataukah belum, maka ia
diperbolehkan makan dan minum hingga nyata-nyata baginya bahwa
waktu sahur telah habis dan masuk waktu shubuh. Firman Allah :
Dan makanlah, minumlah, sehingga nyata kepadamu benang putih dari
pada benang hitam yaitu Fajar. [QS. Al Baqarah : 187]
Dari ayat di atas jelaslah bahwa Allah memperkenankan makan dan
minum, sehingga nyata benar terbitnya Fajar.

4. Adab Berbuka
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari Sahl bin 'Adi, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Senantiasalah manusia dalam kebajikan selama mereka segera berbuka".Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAWbersabda :
Berfirman Allah 'Azza wa Jalla (artinya), "Yang paling Ku sayangi dari
hamba-hamba-Ku, ialah yang paling segera berbuka".
[HR. Tirmidzi dariAbu Hurairah].

Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Anas bin Malik, katanya :
Tidak pernah aku melihat walau sekali Rasulullah SAW shalat Maghrib lebih dahulu sebelum berbuka, walaupun hanya dengan seteguk air.
[HR.Ibnu ‘Abdil Barr dari Anas bin Malik]

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi dari Anas, sbb :
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW berbuka dengan kurma basah sebelum shalat (Maghrib), jika tidak ada kurma basah, maka beliau berbuka dengan kurma kering, dan jika tak ada kurma kering, beliau menyendok beberapa sendok air.
[HR. Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi]

Adalah Rasulullah SAW suka berbuka puasa dengan tiga biji korma atau sesuatu yang tidak dimasak dengan api.
[HR. Abu Ya'la dari Anas]

Rasulullah SAW bersabda :
Apabila seseorang diantara kalian berbuka, maka hendaklah ia berbuka dengan korma. Jika ia tidak memperoleh korma, hendaklah ia berbuka dengan air, karena air itu bersih dan membersihkan.
[HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Sulaiman bin 'Amir]

Kesimpulan :
Hadits-hadits di atas menerangkan kepada kita, bahwa apabila kita berbuka puasa maka disunatkan untuk :
1. Menyegerakan berbuka.
2. Sebelum shalat Maghrib kita berbuka dahulu walaupun dengan seteguk air.
3. Berbuka dengan tiga biji korma, bila tidak ada, dengan sesuatu makanan yang manis dan tidak dimasak dengan api. Seperti : pisang,kates, nanas dan lain-lain.
4. Bila tidak ada buah-buahan maka disunatkan kita untuk berbuka dengan air.
5. Dan dikala berbuka dituntunkan untuk membaca do'a seperti berikut :
Haus telah hilang, urat-urat telah basah dan semoga pahala tetap
didapatkan. Insya Allah.
[HR. Abu Dawud juz 2, hal. 306, dari Ibnu Umar]

Tentang doa berbuka puasa
Ada bermacam-macam doa berbuka puasa, diantaranya sebagai berikut:
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Adalah Nabi SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Alloohumma laka shumnaa wa ‘alaa rizqika afthornaa fataqobbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim (Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa, dan atas rizqi-Mu kami berbuka, maka terimalah (ibadah) dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)”.
[HR. Daruquthni juz 2, hal. 185 no. 26, dlaif karena dalam sanadnya ada perawi ‘Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah]

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Adalah Nabi SAW apabila berbuka puasabeliau berdoa, “Laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minnii innaka antas samii’ul ‘aliim (Untuk-Mu aku berpuasa, dan atas rizqi-Mu aku berbuka, maka terimalah ibadahku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)”.
[HR. Thabrani dalam Al-Kabir juz 12,hal. 113, no. 12720, dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah, ia dlaif]

Bismillah, Alloohumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthortu (Dengan nama Allah. Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizqi-Mu aku berbuka).
[HR. Thabrani, dalam Al-Ausath hadits no. 7547, dalam sanadnya ada perawi bernama Dawud bin Zabraqan, dan ia dlaif –Majma’uz Zawaaid juz 3, hal. 279]

Dari Mu’adz RA, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Alhamdu lillaahil-ladzii a’aananii fa shumtu wa rozaqonii fa-afthortu (Segala puji bagi Allah yang telah menolongku,sehingga aku berpuasa dan telah memberi rizqi kepadaku, maka aku berbuka)”.
[HR. Ibnu Sunni hal. 169, no. 479, sanadnya dlaif, karena di dalamnya ada perawi yang tidak disebutkan namanya]

Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa Nabi SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Alloohumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthortu (Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rizqi-Mu aku berbuka puasa)”.
[HR. Abu Dawud juz 2,hal. 306, no.2358, hadits tersebut mursal, karena Mu’adz bin Zuhrah tidak bertemu Nabi SAW]

Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu ketika berbuka ada doa yang tidak akan ditolak”. Ibnu Abi Mulaikah berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr apabila berbuka puasa berdoa, “Alloohumma innii asaluka birohmatikal-latii wasi’at kulla syai-in an taghfiro lii (Ya Allah,sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan rohmat-Mu yang luas meliputi segala sesuatu agar Engkau mengampuni aku)”.
[HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 557, no. 1753, hadits hasan]

Dari Marwan, yakni bin Salim Al-Muqaffa’, ia berkata : Aku melihat Ibnu ‘Umar RA memegang jenggotnya, lalu memotong yang lebih dari genggaman tangannya. Ia berkata : Adalah Rasulullah SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Dzahabadh-dhoma-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru, insyaa-allooh (Haus telah hilang, urat-urat telah basah dan semoga pahala tetap didapat, insyaa-allooh).
[HR. Abu Dawud juz 2,hal. 306, no. 2357, hadits hasan]


Keterangan :
Dari riwayat-riwayat di atas bisa kita ketahui bahwa yang derajatnya hasan adalah riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abi Mulaikah dan riwayat Abu Dawud dari Marwan bin Salim. Namun pada riwayat Ibnu Abi Mulaikah di atas,doa tersebut adalah lafadhnya Ibnu ‘Amr. Adapun pada riwayat Abu Dawud tersebut lafadh doa itu dari Nabi SAW. Dengan demikian kita ketahui bahwa doa berbuka puasa yang paling kuat riwayatnya adalah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Marwan bin Salim dari Ibnu ‘Umar (Dzahabadh-dhoma-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru, insyaaallooh)




















Rabu, 03 Juli 2013

SYI'AH=PENGIKUT DAJJAL?



















UMAT ISLAM..BANGUN....!!

Tuduhan WAHABI kepada sebagian umat Islam yg berpedoman dengan Al-Qur'an & Sunnah diHEMBUSKAN kaum Syi'ah (pengikut dajjal) untuk mengadu domba umat Islam.Khusus di Indonesia,kaum Syi'ah (pengikut dajjal) menghembuskan tuduhan bahwa Islam yg sesuai tuntunan Al-Qur'an & Sunnah adalah Wahabi yg mengkafirkan pelaku Bid'ah (Ibadah yg tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasulullah SAW).

HAsilnya..adalah kaum Syi'ah (pengikut dajjal) berhasil membuat Organisasi umat Islam terbesar di Indonesia mencap umat Islam yg berpedoman dengan Al-Qur'an & Sunnah dengan sebutan WAHABI,sesat,agama baru dsbnya.
Organisasi umat Islam terbesar di Indonesia yg mengaku orang Sunni dibuat agar membenci 'umat Islam yg berpedoman dengan Al-Qur'an & Sunnah',agar Umat Islam di Indonesia tidak bersatu yang bisa mengahadang Syi'ah berkembang di Indonesia.

Karena satu2nya yg bisa menghadang laju kaum Syi'ah (pengikut dajjal) adalah 'umat Islam yg berpedoman dengan Al-Qur'an & Sunnah'.Karena kaum Syi'ah (pengikut dajjal) terbukti AHLI BID"AH yg sesat,kaum munafiq,dan kafir.
Bisa kita lihat tata cara adzan yang ditambah2i yg tdk ada tuntunannya dari Allah & Rasul-Nya.Apalagi Shalat mereka (syi'ah) yg sangat tdk sesuai dengan tuntunan.

http://www.youtube.com/watch?v=-TXYrZdxfgA


Umat Islam yg berpedoman dengan Al-Qur'an & Sunnah' (yg difitnah Wahabi) atau Organisasi umat Islam terbesar di Indonesia !! KALIAN setiap hari berdoa dalam Tahiyyat akhir yang salah satunya berlindung dari Al Masih ad-Dajjal!!

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW berdo’a (di dalam shalatnya) Alloohumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabil qobri wa min ‘adzaabin naar, wa min fitnatil mahyaa wal mamaat, wa min fitnatil masiihid dajjaal. (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa qubur, dari siksa neraka, dari fitnah hidup dan mati dan dari fitnah masiihid dajjaal (perusak yang menghabiskan kebaikan)”. 

[HR. Bukhari 2 : 103].

Terus buat apa kita berdoa berlindung dari Dajjal? Sekarang mulai kita tahu,mengapa kita selalu dituntunkan membaca doa tersebut.


Syi'ah dalam shalat tidak membaca doa perlindungan kepada Dajjal.
Allah melalui Rasul-Nya telah membuka kedok sebenarnya siapa mereka...

KArena merekalah,Syi'ah... pengikut Dajjal sesungguhnya....







http://arisetiawanone.blogspot.com/2013/07/syiahpengikut-dajjal.html

Sabtu, 22 Juni 2013



عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا وَ قَالَ: اَللّهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ، وَ مِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ ذَا اْلجَلاَلِ وَ اْلاِكْرَامِ. قَالَ اْلوَلِيْدُ: فَقُلْتُ ِلـْلاَوْزَعِيّ: كَيْفَ اْلاِسْتِغْفَارُ؟ قَالَ: تَقُوْلُ اَسْتَغْفِرُ اللهَ، اَسْتَغْفِرُ اللهَ. مسلم

Dari Tsauban, dia berkata : Adalah Rasulullah SAW apabila selesai dari shalat, beliau memohon ampun (membaca istighfar) tiga kali. Lalu beliau membaca, “Alloohumma antas salaam, wa minkas salaam, tabaarokta dzal jalaali wal ikroom“. (Ya Allah, Engkau Maha Selamat, dan dari Engkaulah datangnya keselamatan. Engkau Maha Berkah, wahai Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Mulia). Al-Walid (perawi) berkata : Aku bertanya kepada Al-Auza’iy, “Bagaimana bacaan istighfar itu ?”. Al-Auza’iy menjawab, “Astaghfirullooh, astaghfirullooh”. (Aku mohon ampun kepada Allah, aku mohon ampunan kepada Allah). [HR. Muslim juz 1, ha. 414]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ اِلاَّ مِقْدَارَ مَا يَقُوْلُ: اَللّهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَ مِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا اْلجَلاَلِ وَ اْلاِكْرَامِ. و فى رواية ابن نمير: يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَ اْلاِكْرَامِ. مسلم

Dari ‘Aisyah, dia berkata, “Dahulu Nabi SAW apabila selesai salam, beliau tidak duduk kecuali sekedar membaca, “Alloohumma antas salaam, wa minkas salaam, tabaarokta dzal jalaali wal ikroom”. (Ya Allah, Engkau Maha Selamat, dan dari Engkaulah datangnya keselamatan. Engkau Maha Berkah, wahai Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Mulia). Dan dalam riwayat Ibnu Numair Yaa dzal jalaali wal ikroom. [HR. Muslim juz 1, hal. 414]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص: مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِى دُبُرِ كُلّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ حَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ كَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَ تِسْعُوْنَ. وَ قَالَ تَمَامَ اْلمِائَةِ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ، وَ لَهُ اْلحَمْدُ، وَ هُوَ عَلَى كُلّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَاِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ اْلبَحْرِ. مسلم

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang setiap habis shalat membaca tasbih sebanyak tiga puluh tiga kali, tahmid sebanyak tiga puluh tiga kali, takbir sebanyak tiga puluh tiga kali, yang demikian itu berarti sembilan puluh sembilan kali”. Nabi SAW bersabda, “Dan genap seratusnya ia mengucap, Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir. (Tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia atas segala sesuatu berkuasa), maka akan diampuni dosa-dosanya sekalipun sebanyak buih di laut”
[HR. Muslim juz 1, hal. 418]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: جَاءَ اْلفُقَرَاءُ اِلىَ النَّبِيّ ص فَقَالُوْا: ذَهَبَ اَهْلُ الدُّثُوْرِ مِنَ اْلاَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ اْلعُلاَ وَ النَّعِيْمِ اْلمُقِيْمِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلّى وَ يَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَ لَهُمْ فَضْلُ اَمْوَالٍ يَحُجُّوْنَ بِهَا وَ يَعْتَمِرُوْنَ وَ يُجَاهِدُوْنَ وَ يَتَصَدَّقُوْنَ. قَالَ: اَلاَ اُحَدّثُكُمْ بِمَا اِنْ اَخَذْتُمْ اَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَ لَمْ يُدْرِكْكُمْ اَحَدٌ بَعْدَكُمْ وَ كُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ اَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ اِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبّحُوْنَ وَ تَحْمَدُوْنَ وَ تُكَبّرُوْنَ خَلْفَ كُلّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ. فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا. فَقَالَ بَعْضُنَا: نُسَبّحُ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ نَحْمَدُ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ نُكَبّرُ اَرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ فَرَجَعْتُ اِلَيْهِ فَقَالَ: تَقُوْلُ سُبْحَانَ اللهِ وَ اْلحَمْدُ ِللهِ وَ اللهُ اَكْبَرُ حَتىَّ يَكُوْنَ مِنْهُنَّ كُلّهِنَّ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ. البخارى

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Orang-orang faqir datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Orang-orang kaya dan berharta bisa mendapatkan derajat yang tinggi dan keni’matan yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, mereka mempunyai kelebihan harta sehingga bisa berhajji, ber’umrah, berjihad dan bersedeqah”. Nabi SAW bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian dengan sesuatu yang apabila kalian lakukan, kalian akan mendapatkan apa yang didapatkan orang-orang yang mendahului kalian (dalam beramal) dan tidak seorangpun sesudah kalian yang menyusul kalian (beramal), dan kalian menjadi sebaik-baik orang diantara kalian, kecuali orang yang mengamalkan seperti itu juga. Yaitu kamu bertasbih, bertahmid, dan bertakbir setiap selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali”. Lalu diantara kami ada perbedaan pendapat. Sebagian ada yang berpendapat bertsbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, dan bertakbir tiga puluh empat kali. Lalu aku (tanyakan) kembali kepada beliau, maka beliau bersabda, “Bacalah Subhaanallooh, wal hamdu lillaah, walloohu akbar”. Sehingga masing-masingnya itu dibaca tiga puluh tiga kali”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 205]

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص قَالَ: مُعَقّبَاتٌ لاَ يَخِيْبُ قَائِلُهُنَّ اَوْ فَاعِلُهُنَّ دُبُرَ كُلّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ، ثَلاَثٌ وَ ثَلاَثُوْنَ تَسْبِيْحَةً وَ ثَلاَثٌ وَ ثَلاَثُوْنَ تَحْمِيْدَةً وَ اَرْبَعٌ وَ ثَلاَثُوْنَ تَكْبِيْرَةً. مسلم

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Beberapa bacaan yang dibaca setiap habis shalat fardlu yang tidak akan membuat rugi bagi orang yang membacanya  (mengerjakannya) ialah tiga puluh tiga kali tasbih, tiga puluh tiga kali tahmid, dan tiga puluh empat kali takbir”. [HR. Muslim juz 1, hal. 418]

كَتَبَ مُعَاوِيَةُ اِلَى اْلمُغِيْرَةِ: اُكْتُبْ اِلَيَّ بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص. قَالَ: فَكَتَبَ اِلَيْهِ. سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ اِذَا قَضَى الصَّلاَةَ: لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ وَ هُوَ عَلَى كُلّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اَللّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفُعَ ذَا اْلجَدّ مِنْكَ اْلجَدُّ. مسلم

Mu’awiyah berkirim surat kepada Mughirah yang isinya, “Tuliskanlah untukku sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah SAW”. (Rawi) berkata : Mughirah pun berkirim surat kepada Mu’awiyah yang isinya, “Aku mendengar Rasulullah SAW setiap kali selesai shalat, beliau berdoa Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir. Alloohumma laa maani’a limaa a’thoita wa laa mu’thiya limaa mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu. (Tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan Dia atas segala sesuatu berkuasa. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi terhadap apa yang Engkau beri, dan tidak ada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau halangi, dan tidak bermanfaat (kekayaan itu) terhadap orang yang kaya, dari-Mu lah kekayaan itu”. [HR. Muslim juz 1, hal. 415]

عَنْ اَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ: كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَقُوْلُ فِى دُبُرِ كُلّ صَلاَةٍ حِيْنَ يُسَلّمُ: لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ وَ هُوَ عَلَى كُلّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ. لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ. وَ لاَ نَعْبُدُ اِلاَّ اِيَّاهُ، لَهُ النّعْمَةُ وَ لَهُ اْلفَضْلُ وَ لَهُ الثَّنَاءُ اْلحَسَنُ. لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدّيْنَ وَ لَوْ كَرِهَ اْلكَافِرُوْنَ. وَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُهَلّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلّ صَلاَةٍ. مسلم

Dari Abu Zubair, ia berkata : Adalah Ibnu Zubair membaca pada setiap sesudah shalat, yaitu sesudah salam, “Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Laa ilaaha illallooh. Wa laa na’budu illaa iyyaah, lahun ni’matu wa lahul fadllu wa lahuts tsanaa-ul hasan. Laa ilaaha illalloohu mukhlishiina lahud diina walau karihal kaafiruun” (Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan bagi-Nya segala puji, dan Dia atas segala sesuatu berkuasa. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya. Bagi-Nya segala keni’matan, bagi-Nya segala keutamaan, dan bagi-Nya segala sanjungan yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah, kami menjalankan agama ini setulusnya kepada-Nya, sekalipun orang-orang kafir membencinya”. Dan ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW dahulu mengucapkan demikian setiap sesudah shalat”. [HR. Muslim juz 1, hal. 415].

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رض عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: خَصْلَتَانِ اَوْ خَلَّتَانِ لاَ يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ اِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيْرٌ وَ مَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيْلٌ: يُسَبّحُ فِى دُبُرِ كُلّ صَلاَةٍ عَشْرًا وَ يَحْمَدُ عَشْرًا وَ يُكَبّرُ عَشْرًا، فَذلِكَ خَمْسُوْنَ وَ مِائَةٌ بِاللّسَانِ وَ اَلْفٌ وَ خَمْسُمِائَةٍ فِى الْمِيْزَانِ. وَ يُكَبّرُ اَرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ اِذَا اَخَذَ مَضْجَعَهُ وَ يَحْمَدُ ثَلاَثًا  وَ ثَلاَثِيْنَ وَ يُسَبّحُ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ، فَذلِكَ مِائَةٌ بِاللّسَانِ وَ اَلْفٌ فِى اْلمِيْزَانِ، فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَعْقِدُهَا بِيَدِهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ هُمَا يَسِيْرٌ وَ مَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيْلٌ؟ قَالَ: يَأْتِى اَحَدَكُمْ يَعْنِى الشَّيْطَانُ فِى مَنَامِهِ فَيُنَوّمُهُ قَبْلَ اَنْ يَقُوْلَهُ، وَ يَأْتِيْهِ فِى صَلاَتِهِ، فَيُذَكّرُهُ حَاجَةً قَبْلَ اَنْ يَقُوْلَهَا. ابو داود

Dari Abdullah bin ‘Umar RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Ada dua perkara, tidaklah seorang muslim menjaga atas keduanya kecuali dia masuk surga. Dua perkara itu mudah, tetapi orang yang mengamalkannya sedikit, yaitu setiap sehabis shalat (fardlu) bertasbih kepada Allah Ta’ala sepuluh kali, membaca tahmid sepuluh kali dan membaca takbir sepuluh kali. Maka yang demikian itu adalah seratus lima puluh di lisan, dan seribu lima ratus pada timbangan amal. Dan apabila akan tidur membaca takbir tiga puluh empat kali, membaca tahmid tiga puluh tiga kali dan membaca tasbih tiga puluh tiga kali. Maka yang demikian itu adalah seratus di lisan, dan seribu pada timbangan amal”. Berkata (Abdullah bin ‘Umar), “Sesung-guhnya saya melihat Rasulullah SAW menghitungnya dengan tangannya”. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana keduanya itu mudah sedang orang yang mengamalkannya sedikit ?”. Rasulullah SAW menjawab, “Datang kepada seseorang diantara kalian (yaitu syaithan) pada tempat tidurnya lalu ia menidurkannya sebelum orang itu sempat membacanya, dan (syaithan) datang kepadanya di dalam shalatnya, lalu mengingatkan orang itu pada kebutuhannya sebelum orang itu sempat membacanya”. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 316].

Keterangan :
Sehabis shalat membaca tasbih sepuluh kali, membaca tahmid sepuluh kali dan membaca takbir sepuluh kali. Maka dalam setiap shalat wajib membaca sebanyak tiga puluh kali, sedangkan sehari semalam shalat wajib itu lima kali. Jadi semuanya ada seratus lima puluh kali (seratus lima puluh di lisan).
Dan satu kebaikan itu pahalanya sepuluh. Jadi seratus lima puluh di lisan sama dengan seribu lima ratus pada timbangan amal.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادِ اْلاَلْهَانِيّ قَالَ سَمِعْتُ اَبَا اُمَامَةَ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ قَرَأَ آيَةَ اْلكُرْسِيّ دُبُرَ كُلّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ اْلجَنَّةِ اِلاَّ اْلمَوْتُ. الطبرانى، فى المعجم الكبير

Dari Muhammad bin Ziyad Al-Alhaniy, ia berkata : Saya mendengar Abu Umamah mengatakan : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca ayat Kursi pada setiap sesudah shalat wajib, maka tidak ada yang menghalanginya untuk masuk surga kecuali mati”. [HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir juz 8, hal. 114, no. 7532]

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَخَذَ بِيَدِهِ وَ قَالَ: يَا مُعَاذُ، وَ اللهِ اِنّى َلاُحِبُّكَ (وَ اللهِ اِنّى َلاُحِبُّكَ) فَقَالَ: اُوْصِيْكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلّ صَلاَةٍ تَقُوْلُ: اَللّهُمَّ اَعِنّى عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ. ابو داود

Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW memegang tangannya, lalu bersabda, “Hai Mu’adz, demi Allah aku menyukaimu, demi Allah aku menyukaimu”. Kemudian beliau bersabda, “Aku washiyatkan kepadamu, ya Mu’adz, janganlah kamu tinggalkan pada setiap selesai shalat kamu berdoa, “Alloohumma a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik” (Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadahku kepada-Mu)”. [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 86, no. 1522]

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: اَمَرَنِى رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ اَقْرَأَ بِاْلمُعَوّذَتَيْنِ فِى دُبُرِ كُلّ صَلاَةٍ. الترمذى
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Rasulullah SAW menyuruh supaya aku membaca surat mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) pada setiap selesai shalat”. [HR. Tirmidzi juz 4, hal. 244, no. 3067]



Minggu, 02 Juni 2013


BASYAR ASSAD KETURUNAN PENCONGKEL HAJAR ASWAD DARI KA’BAH!!





SYEKH ADNAN AR-UR menegaskan bahwa yang mencongkel dan mencuri hajar aswad dari ka’bah selama 22 tahun ka’bah tanpa hajar aswad adalah nenek moyang keluarga al-asad yaitu qaramithah yang telah berbuat rusak di tanah suci masjidil haram.
Apakah anda tahu siapa qaramithah? Jika anda tahu pendahulu basyar assad maka anda akan paham basyar assad yang haus darah itu. Berikut ini adalah sejarah kejahatan kakek kakek basyar assad yang berhasil diarekam oleh Imam Ibnu Katsir al-Syafi’I, yang patut kita baca dan renungkan kembali

>> Pengkhianatan Daulah Qaramithah
Daulah Qaramithah beridiologi Syi’ah Isma’iliyyah sebuah ideologi sesat yang meyakini imamah (kepemimpinan) Ismail bin Ja’far as-Shadiq.
Setelah wafatnya Ja’far bin Muhammad ash-Shâdiq, kaum Syiah terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Mûsâ al-Kâzhim, mereka inilah yang kemudian disebut Syiah Itsnâ ‘Asyariyah (aliran Syiah yang meyakini adanya imam yang berjumlah dua belas orang). Dan satu kelompok lagi menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Ismâ’il bin Ja’far, kelompok ini kemudian dikenal sebagai Syiah Ismâ’iliyah. Kadang kala mereka dinisbatkan kepada madzhab bathiniyah dan kadang kala dikaitkan juga dengan Qarâmithah. Akan tetapi, mereka lebih senang disebut Ismâ’iliyah. Al-Milal wan Nihal (I/191-192)
Daulah Qaramithah dinisbahkan kepada Hamdân Qirmith, pemimpin mereka. Kemudian pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan Qarâmithah. Daulah ini didirikan oleh Abu Said al-Jannabi tahun 278 H berpusat di Bahrain. Daulah ini berkuasa selama kurang lebih 188 tahun. Menguasai daerah Ahsa’, Hajar, Qathif, Bahrain, Oman, dan Syam.
Ketika mereka sudah memiliki kekuatan dan berhasil mendirikan daulah Bahrain, mereka melakukan perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan, kekejaman yang mungkin tidak dilakukan oleh bangsa Tatar maupun kaum Nasrani sekalipun. Mereka inilah, yang telah bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar (Mongol) untuk melawan Islam dan kaum Muslimin. Di antara tokoh mereka yang menimpakan fitnah besar terhadap kaum Muslimin adalah Abu Thâhir Sulaimân bin Hasan al-Janâbi.

>> Rentetan peristiwa
Tahun 294 H, Qaramithah dipimpin Zakrawaih menghadang kepulangan jamaah haji dan menyerang mereka pada bulan Muharram. Terjadilah peperangan besar kala itu. Di saat mendapat perlawanan sengit, Syi’ah Qaramithah menarik diri dengan nada bertanya, “Apakah ada wakil sultan di antara kalian?” Jamaah haji menjawab, “Tidak ada seorang pun (yang kalian cari) di tengah-tengah kami.” Qaramithah lalu berujar, “Maka kami tidak bermaksud menyerang kalian (salah sasaran).” Peperangan pun berhenti. Sesaat kemudian, ketika jamaah haji merasa aman dan melanjutkan perjalanannya, maka para pengikut Syi’ah kembali menyerang mereka. Banyak jamaah haji yang terbunuh disana. Adapun mereka yang melarikan diri, diumumkan akan diberi jaminan keamanan oleh Syi’ah. Ketika sisa jamaah haji tadi kembali, maka pasukan Syi’ah berkhianat dan membunuh mereka.
Peran kaum wanita Syi’ah pun tidak kalah sadisnya. Paska perang, kaum wanita Syi’ah mengelilingi tumpukan-tumpukan jenazah dengan membawa geriba air. Mereka menawarkan air tersebut di tengah-tengah korban perang. Apabila ada yang menyahut, maka langsung dibunuh. Jumlah jamaah haji yang terbunuh saat itu mencapai 20.000 jiwa, ditambah dengan harta yang dirampas mencapai dua juta dinar. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tahun 312 H, Qaramithah dipimpin Abu Thahir, putra Abu Said, menyerang jamaah haji asal Baghdad ketika pulang dari Mekah pada bulan Muharram. Mereka membunuh dan merampas hewan-hewan bawaan jamaah haji tersebut. Adapun sisa jamaah haji, ditinggalkan begitu saja sehingga mayoritasnya mati kehausan di tengah teriknya matahari. [Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 38]
Tahun 315 H, Qaramithah berjumlah 1.500 tentara dipimpin oleh Abu Thahir maju menuju Kufah pada bulan Syawwal. Mereka dihadapi oleh pasukan Khalifah saat itu sebanyak 6.000 tentara. Walhasil, pasukan Syi’ah memenangkan peperangan dan berhasil membunuh mayoritas pasukan Kufah.
Tahun 317 H, Qaramithah sebanyak 700 tentara dipimpin Abu Thahir, yang berumur 22 tahun, mendatangi Mekah saat musim haji. Selanjutnya, mereka membunuh jamaah haji yang sedang menunaikan manasiknya. Sementara itu, Abu Thahir duduk di depan Ka’bah dan berseru, “Aku adalah Allah, demi Allah, aku menciptakan seluruh makhluk dan yang mematikan mereka.”
Abu Thahir segera memerintahkan pasukannya untuk mengambil pintu Ka’bah, dan menyobek-nyobek tirai Ka’bah. Salah seorang tentaranya memanjat Ka’bah untuk mengambil talangnya, namun tewas terjatuh. Ia juga memerintahkan salah satu tentaranya untuk mengambil Hajar Aswad.Tentara tersebut mencongkelnya dan dengan angkuhnya berseru, “Mana burung yang berbondong-bondong itu? Mana pula batu dari neraka Sijjil (yang menimpa pasukan Raja Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah menjelang masa kelahiran Nabi)?” Setelah berlalu enam hari, mereka pulang membawa Hajar Aswad.
Gubernur Mekah dengan dikawal pasukannya segera menemui pasukan Syi’ah tersebut di tengah jalan. Berharap agar mereka mau mengembalikan Hajar Aswad dengan imbalan harta yang banyak. Namun Abu Thahir tidak menggubrisnya. Terjadilah peperangan setelah itu.
Pasukan Qaramithah menang dan membunuh mayoritas yang ada di sana. Lalu melanjutkan perjalanan pulang ke Bahrain dengan membawa harta rampasan milik jamaah haji. Setelahnya, dibuatlah maklumat menantang umat Islam bila ingin mengambil Hajar Aswad tersebut, bisa dengan tebusan uang yang sangat banyak atau dengan perang.
Hajar Aswad pun berada di tangan mereka selama 22 tahun. Mereka lalu mengembalikannya pada tahun 339 H, setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000 dinar oleh al-Muthi’ Lillah, seorang khalifah Daulah Abbasiyyah.
Tahun 317 H, mereka menyerang jamaah haji di Masjidil Harâm, dan membunuhi para jamaah yang berada dalam masjid lalu membuang mayat mayat ke sumur Zamzam. Mereka membunuh orang orang di jalan-jalan kota Mekah dan sekitarnya. Jumlah korbannya mencapai tiga puluh ribu jiwa. Bahkan ia merampas kelambu Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada pasukannya. Ia menjarah rumah-rumah penduduk Mekah dan mencungkil Hajar Aswad dari tempatnya untuk ia bawa ke Hajar (ibukota daulah mereka di Bahrain). Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 54
Imam Ibnu Katsir rahimahullah merekam kekejaman yang dilakukan oleh Abu Thâhir al-Janâbi al-Bâthini ini dengan berkata, “Ia menjarah harta penduduk Mekah dan menghalalkan darah mereka. 
Ia membunuhi manusia di rumah-rumah mereka hingga yang berada di jalan-jalan. Bahkan menjagal banyak jamaah haji di Masjdil Haram dan di dalam Ka’bah. Lalu pemimpin mereka, yakni Abu Thâhir –semoga Allâh Azza wa Jalla melaknatnya- duduk di pintu Ka’bah, sementara orang-orang disembelihi di hadapannya dan pedang-pedang berkelebatan membantai orang-orang di Masjidil Haram pada bulan haram (suci) di hari Tarwiyah yang merupakan hari yang mulia. Sementara Abu Thâhir ini berseru, “ Aku adalah Allâh, Allâh adalah aku. Aku menciptakan makhluk dan akulah yang mematikan mereka.
Orang-orang pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman Abu Thâhir ini. Di antara mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu Ka’bah. Namun itu tidak menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap ditebas habis dalam keadaan seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun mereka sedang bertawaf…”
Beliau melanjutkan, “Setelah pasukan Qarâmithah ini melakukan aksi brutal mereka itu –semoga Allâh melaknat mereka- dan perbuatan keji mereka terhadap para jamaah haji, Abu Thahir ini menyuruh pasukannya agar melemparkan mayat-mayat yang tewas ke sumur Zamzam. 
Dan sebagian lain dikubur di tempat-tempat mereka di tanah haram bahkan di dalam Masjidil Haram. Lalu kubah sumur Zamzam pun dirobohkan. Kemudian Abu Thâhir memerintahkan agar mencopot pintu Ka’bah, melepaskan kelambunya, untuk ia koyak-koyak dan bagikan kepada pasukannya.” Al-Bidâyah wan Nihâyah (XI/160)











Jumat, 31 Mei 2013

Sejarah Kemunculan Syi’ah











Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin disatukan..
Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm)
Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.
Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.
  1. Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
    من بدل دينه فاقتلوه
    Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia
  2. Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
  3. Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
    خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر
    Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
    Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
Kalian tinggalkan aku?
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.
Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka).
Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.
Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.
[Disusun dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam]
Penyusun: Satria Buana
Artikel Muslim.Or.Id



Senin, 06 Mei 2013


Nabi Muhammad Menurut Beberapa Tokoh Dunia







1. Encyclopedia Britannica,
(Regarding Muhammad) “… a mass of detail in the early sources shows that he was an honest and upright man who had gained the respect and loyalty of others who were likewise honest and upright men.” [Vol. 12]
(Terhadap Muhammad)”..banyak sumber secara detail menunjukkan dia seorang manusia yang jujur dan benar yang memperoleh kehormatan dan kesetiaan dari yang lain yang juga jujur dan benar”.

2.  Michael H. Hart, “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. New York: Hart Publishing Company, Inc., 1978, page. 33.]

“My choice of Muhammad to lead the list of the world’s most influential persons may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular level.”

“Pilihanku kepada Muhammad sebagai pemimpin dunia yang paling berpengaruh. Satu-satunya manusia yang secara menakjubkan sukses dalam kehidupan Religi dan Sekuler”

3. Reverend R. Bosworth-Smith wrote in “Mohammed & Mohammedanism” in 1946:

“Head of the state as well as the Church, he was Caesar and Pope in one; but, he was pope without the pope’s claims, and Caesar without the legions of Caesar, without a standing army, without a bodyguard, without a palace, without a fixed revenue. If ever any man had the right to say that he ruled by a Right Divine, it was Mohammad, for he had all the power without instruments and without its support. He cared not for dressing of power. The simplicity of his private life was in keeping with his public life.”

“Memimpin pemerintahan sebaik Gereja, dia merupakan Kaisar dan Paus dalam kesatuan, tetapi dia Paus tanpa pengakuan diri, dan Kaisar tanpa legiun Kaisar. Tanpa tentara yang disediakan. Tanpa pengawal, tanpa istana, tanpa penghasilan tetap. Jika ada orang yang harus disebutkan bahwa dia memerintah dengan kebenaran Tuhan, dia adalah Muhammad, Untuk segala kekuasaan tanpa instrument dan dukungan. Dia tidak mempedulikan pakaian kebesaran. Secara sederhana kehidupan sederhananya adalah menjaga kehidupan masyarakatnya.” 

4. Lamartine, HISTOIRE DE LA TURQUIE, Paris, 1854, Vol. II, pp. 276-277.

“Philosopher, orator, apostle, legislator, warrior, conqueror of ideas, restorer of rational dogmas, of a cult without images; the founder of twenty terrestrial empires and of one spiritual empire, that is Muhammad. As regards all standards by which human greatness may be measured, we may well ask, is there any man greater than he?”

“Seorang filsuf, orator, nabi, pembuat undang-undang, Ksatria, penakluk ide, pembangun dogma rasional, tentang memuja tanpa imajinasi, pendiri 20 kerajaan dunia dan satu kerajaan agama, itulah Muhammad. Diantara manusia dengan nama besar, adakah yang lebih besar darinya?.”

5. George Bernard Shaw, [The Genuine Islam, Singapore, Vol. 1, No. 8, 1936] a famous writer and non-Muslim says:

“He must be called the Savior of Humanity. I believe that if a man like him were to assume the dictatorship of the modern world, he would succeed in solving its problems in a way that would bring it much needed peace and happiness.”

“Dia harus dipanggil sebagai penyelamat manusia. Saya percaya jika manusia seperti dirinya untuk mengambil kediktatoran di dunia modern, dia akan sukses memecahkan masalah dengan sebuah cara yang akan menghasilkan kedamaian dan kebahagiaan” 

6. K. S. Ramakrishna Rao,  Seorang professor of Philosophy, dari India yang beragama Hindhu dalam  booklet “Muhammad the Prophet of Islam” memanggilnya  ”model manusia sempurna”

“The personality of Muhammad, it is most difficult to get into the whole truth of it. Only a glimpse of it I can catch. What a dramatic succession of picturesque scenes. There is Muhammad the Prophet. There is Muhammad the Warrior; Muhammad the Businessman; Muhammad the Statesman; Muhammad the Orator; Muhammad the Reformer; Muhammad the Refuge of Orphans; Muhammad the Protector of Slaves; Muhammad the Emancipator of Women; Muhammad the Judge; Muhammad the Saint. All in all these magnificent roles, in all these departments of human activities, he is alike a hero.”

“Kepribadian Muhammad, merupakan yang paling sulit untuk mendapatkan kebenarannya secara menyeluruh. Hanya sekilas yang dapat saya tangkap.  Rangkaian dramatis dari adegan yang indah. Itulah nabi Muhammad. Disanalah Muhammad sebagai Ksatria, Pengusaha, Orator, Pemerintah, Pereformasi, pelindung anak yatim, pelindung budak, pengemansipasi wanita, seorang hakim, dan orang suci. Semuanya dalam seluruh peran yang bagus, dalam seluruh bagian aktifitas manusia ini, dia seperti seorang pahlawan”.

7. Mahatma Gandhi, berbicara tentang sifat nabi Muhammad, dalam ‘Young India’:

“I wanted to know the best of one who holds today undisputed sway over the hearts of millions of mankind… I became more than convinced that it was not the sword that won a place for Islam in those days in the scheme of life. It was the rigid simplicity, the utter self-effacement of the Prophet, the scrupulous regard for his pledges, his intense devotion to his friends and followers, his intrepidity, his fearlessness, his absolute trust in God and in his own mission. These and not the sword carried everything before them and surmounted every obstacle. When I closed the 2nd volume (of the Prophet’s biography), I was sorry there was not more for me to read of the great life.”

“Aku ingin tahu manusia terbaik yang memegang kekuasaan tak terbantahkan sampai  hari ini atas jutaan umat manusia… Aku menjadi lebih yakin bahwa bukanlah pedang yang memenangkan tempat untuk Islam hari itu dalam skema hidup. Merupakan kesederhanaan yang kaku, penghapusan pengucapan nabi sendiri, Janjinya yang cermat dan  ter hormat, pengabdian yang intensif kepada teman-teman dan para pengikutnya, keberaniannya, tanpa  rasa takut, kepercayaan penuhnya pada Tuhan dan misinya sendiri. Inilah dan bukannya pedang membawa semuanya didepan mereka dan mengatasi setiap rintangan.  Ketika aku menutup volume kedua (atas biografi nabi), aku minta maaf belum semua tentang kehidupan besarnya aku baca”.

8. Thomas Carlyle (seorang penulis Inggris) dalam bukunya  ’Heroes and Hero Worship’,

“How one man single handedly, could weld warring tribes and wandering Bedouins into a most powerful and civilized nation in less than two decades.”

“Bagaimana seorang manusia sendirian mampu,  merubah suku badui yang suka berperang dan mengembara menjadi  negara paling kuat dan beradab dalam waktu kurang dari dua decade”.

9. Diwan Chand Sharma menulis dalam buku “The Prophets of the East”: [D.C. Sharma, The Prophets of the East, Calcutta, 1935, pp. 12]

“Muhammad was the soul of kindness, and his influence was felt and never forgotten by those around him”

“Muhamamd merupakan jiwa dari kebaikan, pengaruhnya tak pernah terlupakan dari mereka di sekitarnya”

Muhammad, peace and blessings be upon him, was nothing more or less than a human being, but he was a man with a noble mission, which was to unite humanity on the worship of ONE and ONLY ONE GOD and to teach them the way to honest and upright living based on the commands of God. He always described himself as, ‘A Servant and Messenger of God’ and so indeed every action of his proclaimed to be.

“Muhammad, damai dan berkat atasnya, tidak kurang dan tidak lebih daripada seorang manusia, tetapi dia adalah manusia dengan misi agung, untuk menyatukan manusia dalam menyembah pada yang SATU dan SATU SATUNYA TUHAN dan mengajar mereka jalan menuju kejujuran dan kehidupan yang baik berdasarkan perintah Tuhan. Dia selalu mendiskripsikan dirinya sebagai “Pelayan dan Utusan Tuhan”  dan bahkan setiap ucapannya dijalankan”.

10. Sarojini Naidu , seorang penyair puitis dari India. [S. Naidu, Ideals of Islam, vide Speeches & Writings, Madras, 1918, p. 169]

“It was the first religion that preached and practiced democracy; for, in the mosque, when the call for prayer is sounded and worshippers are gathered together, the democracy of Islam is embodied five times a day when the peasant and king kneel side by side and proclaim: ‘God Alone is Great’… I have been struck over and over again by this indivisible unity of Islam that makes man instinctively a brother.”

“merupakan agama pertama yang melakukan dan mempraktekkan demokrasi, Dalam Masjid, ketika panggilan shalat didengungkan orang yang beribadah berkumpul bersama, demokrasi dalam Islam dibentuk dalam 5 kali sehari ketika Petani dan Raja berlutut dan mengatakan “Tuhan satu yang Agung”…Aku tergetar berulang kali dengan kesatuan tak terpisahkan dalam Islam yang membuat manusia  secara insting merasa bersaudara”.

11.Edward Gibbon dan Simon Ockley, “History of the Saracen Empires”[History of the Saracen Empires, London, 1870, p. 54]

“I BELIEVE IN ONE GOD, AND MAHOMET, AN APOSTLE OF GOD’ is the simple and invariable profession of Islam. The intellectual image of the Deity has never been degraded by any visible idol; the honor of the Prophet have never transgressed the measure of human virtues; and his living precepts have restrained the gratitude of his disciples within the bounds of reason and religion.”

“ Aku percaya dalam 1 Tuhan, dan Muhammad, nabi dari Tuhan”, merupakan pernyataan yang sederhana dan sama dalam Islam. Gambaran intelektual atas Tuhan tak pernah dikurangi dengan berhala yang terlihat; Kehormatan dari sang nabi tak pernah melanggar ukuran kebajikan manusia”.

12. E Wolfgang Goethe, seorang penyair besar Eropa [Noten und Abhandlungen zum Weststlichen Dvan, WA I, 7, 32]

“He is a prophet and not a poet and therefore his Koran is to be seen as Divine Law and not as a book of a human being, made for education or entertainment.”

“Dia seorang nabi, dan bukan seorang penyair, maka dari itu Al-Quran nya dilihat sebagai hukum suci dan bukan buku dari manusia, dibuat untuk pendidikan dan penghiburan”.

sumber : prophetofislam