Hujjatul Islam:
Ibnu Katsir, Guru Umat dan Suluh Penguasa
Ibnu
Katsir mendapat julukan Al-Hafizh, Al-Hujjah, dan Al-Muarrikh.
Pantas ia menerima penghormatan itu. Pasalnya, ia menguasai banyak
disiplin ilmu keislaman, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, dan
sejarah.
Ulama sekelas Imam Adz-Dzahabi pun tak segan menyanjungnya. Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadis), ilmuwan, ahli fikih, ahli tafsir, dan punya karya monumenal yang banyak dan bermanfaat.
Nama lengkap Ibnu Katsir adalah Abu Al-Fida' Imaduddin Ismail bin Hafsh Syihabuddin Umar bin Katsir. Ia lahir di Majlah, salah satu kota di Bashrah, sebelah timur Kota Damaskus, pada 701 H. Ayahnya meninggal dunia sejak dia masih belia. Sehingga, pendidikan awal Ibnu Katsir diawasi oleh saudara-saudaranya. Ia merupakan anak termuda dalam keluarganya.
Ada yang berpendapat bahwa ayah Ibnu Katsir meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Pendapat lain mengatakan ketika berusia empat tahun. Dan pendapat terakhir menyebutkan ketika ia berusia enam tahun. Pendapat yang terakhir disinyalir Ensiklopedi Islam sebagai yang paling sahih.
Meski sang ayah meninggalkannya sejak usia dini, namun pengaruhnya begitu kuat bercokol dalam diri Ibnu Katsir. Menurut sebuah riwayat, ayah Ibnu Katsir adalah seorang khatib. Sang ayah dikenal taat beragama, kuat menjunjung nilai-nilai keilmuan, dan pendidik yang bersemangat. Ibnu Katsir mewarisi kebesaran ayahnya, bahkan kemudian ia menjadi lebih besar.
Sejatinya, kebesaran Ibnu Katsir tampak sejak masih berusia kanak-kanak. Pendidikan awalnya diasuh oleh saudaranya, Syekh Abdul Wahab. Pada periode ini, Ibnu Katsir belajar ilmu-ilmu agama. Ia dengan cepat menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Sehingga pada 706 H, ketika berusia lima tahun, saudaranya mengirimkan Ibnu Katsir ke Kota Damaskus untuk memperdalam ilmu agama.
Di kota itu ia belajar ilmu fikih Syafi'i kepada syekh besar Damaskus, Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman Al-Fazariy (W 729). Menginjak usia 11 tahun, ia sudah selesai menghafalkan 30 juz Alquran. Kemudian, dari Kota Damaskus itulah, ia memulai pengembaraannya untuk memperkaya ilmu agama.
Tak dapat dinafikan pula bahwa kebesaran Ibnu Katsir juga ditunjang oleh kebesaran guru-gurunya. Selain syekh besar Damaskus, sederet nama ulama agung tercatat sebagai pembimbingnya. Di bidang usul fikih, ia diasuh oleh Syekh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah, di bidang hadis ia berguru kepada Syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki Al-Mazi dan Syekh Nazmuddin bin Al-Asqalani, dan di bidang sejarah belajar kepada Syekh Syamsuddin Adz-Dzahabi.
Ulama sekelas Imam Adz-Dzahabi pun tak segan menyanjungnya. Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadis), ilmuwan, ahli fikih, ahli tafsir, dan punya karya monumenal yang banyak dan bermanfaat.
Nama lengkap Ibnu Katsir adalah Abu Al-Fida' Imaduddin Ismail bin Hafsh Syihabuddin Umar bin Katsir. Ia lahir di Majlah, salah satu kota di Bashrah, sebelah timur Kota Damaskus, pada 701 H. Ayahnya meninggal dunia sejak dia masih belia. Sehingga, pendidikan awal Ibnu Katsir diawasi oleh saudara-saudaranya. Ia merupakan anak termuda dalam keluarganya.
Ada yang berpendapat bahwa ayah Ibnu Katsir meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Pendapat lain mengatakan ketika berusia empat tahun. Dan pendapat terakhir menyebutkan ketika ia berusia enam tahun. Pendapat yang terakhir disinyalir Ensiklopedi Islam sebagai yang paling sahih.
Meski sang ayah meninggalkannya sejak usia dini, namun pengaruhnya begitu kuat bercokol dalam diri Ibnu Katsir. Menurut sebuah riwayat, ayah Ibnu Katsir adalah seorang khatib. Sang ayah dikenal taat beragama, kuat menjunjung nilai-nilai keilmuan, dan pendidik yang bersemangat. Ibnu Katsir mewarisi kebesaran ayahnya, bahkan kemudian ia menjadi lebih besar.
Sejatinya, kebesaran Ibnu Katsir tampak sejak masih berusia kanak-kanak. Pendidikan awalnya diasuh oleh saudaranya, Syekh Abdul Wahab. Pada periode ini, Ibnu Katsir belajar ilmu-ilmu agama. Ia dengan cepat menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Sehingga pada 706 H, ketika berusia lima tahun, saudaranya mengirimkan Ibnu Katsir ke Kota Damaskus untuk memperdalam ilmu agama.
Di kota itu ia belajar ilmu fikih Syafi'i kepada syekh besar Damaskus, Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman Al-Fazariy (W 729). Menginjak usia 11 tahun, ia sudah selesai menghafalkan 30 juz Alquran. Kemudian, dari Kota Damaskus itulah, ia memulai pengembaraannya untuk memperkaya ilmu agama.
Tak dapat dinafikan pula bahwa kebesaran Ibnu Katsir juga ditunjang oleh kebesaran guru-gurunya. Selain syekh besar Damaskus, sederet nama ulama agung tercatat sebagai pembimbingnya. Di bidang usul fikih, ia diasuh oleh Syekh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah, di bidang hadis ia berguru kepada Syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki Al-Mazi dan Syekh Nazmuddin bin Al-Asqalani, dan di bidang sejarah belajar kepada Syekh Syamsuddin Adz-Dzahabi.
Sejumlah
orang dekatnya, termasuk para ulama, memuji keilmuan dan ketokohan
Ibnu Katsir.
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, ''Ia telah menyibukkan diri dengan hadits, banyak menelaah matan-matan hadits dan para perawinya. Ia sering menyampaikan ceramah, berlaku sopan dalam senda gurau, banyak menghasilkan karya, dan banyak orang yang mengambil manfaat darinya. Ia tergolong ahli hadits yang menguasai ilmu fikih.''
''Ibnu Katsir adalah seorang pemimpin keagamaan yang banyak membaca tasbih dan tahlil. Dia juga seorang pemuka para ahli tafsir,'' kata Ibnu Habib, salah seorang muridnya.
Komentar-komentar tersebut tentunya didasarkan pada kepribadian dan karya sang ulama. Ibnu Katsir telah melahirkan banyak karya monumental. Dan secara moral, ia punya komitmen tinggi pada sifat-sifat luhur seperti yang umumnya dimiliki oleh para ulama besar.
Orang-orang dekat Ibnu Katsir tahu, ulama yang satu ini banyak berdzikir, sangat takwa, sabar, zuhud, dan rendah hati. Dan mampu menyeimbangkan kualitas ilmu dan amalnya. Dengan modal tersebut, tak heran bila Ibnu Katsir menjelma menjadi sosok ulama agung yang sangat diperhitungkan dalam percaturan keilmuan Islam.
Sederhana dan Tawadhu
Meskipun dikenal sebagai ulama besar, Ibnu Katsir diketahui hidup dalam kesederhanaan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sampai kemudian pada 741 H ia mulai dipercaya oleh Gubernur Suriah, Altunbuga An-Nasiri, menduduki jabatan penting.
Ensiklopedi Islam mencatat Ibnu Katsir dipercaya menggantikan gurunya, Adz-Dzahabi, sebagai guru besar bidang hadits di sekolah Turba Umm Salib pada 748 H. Pada 756 H (1355 M), ia dipercaya menduduki jabatan kepala sekolah ilmu hadits bernama Dar Al-Hadis Al-Asyrafiyah, menggantikan Hakim Taqiyuddin as-Subhi. Dan sekitar 10 tahun kemudian, Ibnu Katsir diangkat menjadi guru besar ilmu tafsir di Masjid Umayyah Damaskus.
Jabatan yang diembannya itu menuntut Ibnu Katsir aktif merespons berbagai perkembangan sosial, politik, dan ekonomi dari sudut pandang hukum Islam. Tak jarang para penguasa berkonsultasi seputar masalah-masalah hukum dan politik kepadanya. Ia diminta mengeluarkan fatwa tentang penetapan undang-undang anti-korupsi, rekonsiliasi antara dua kubu yang bertikai, sampai pada jihad di medan perang.
Oleh karena itu, ia menulis banyak buku tentang hukum fikih, untuk dijadikan tuntunan bagi pemerintah dan umat Islam dalam bertindak sesuai ajaran Islam. Karya Ibnu Katsir di bidang fikih yang paling penting adalah Al-Ijtihad fi Thalab Al-Jihad (Ijtihad dalam Memenuhi Kebutuhan Jihad).
Banyak pengamat menilai, ijtihad hukum Ibnu Katsir sangat dipengaruhi oleh gurunya yang paling ia kagumi, yaitu Ibnu Taimiyah. Berkenaan dengan masalah hukum jihad, misalnya, dirinya banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibnu Taimiyah berjudul As-Siyasah Al-Syar'iyyah (Politik Hukum).
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, ''Ia telah menyibukkan diri dengan hadits, banyak menelaah matan-matan hadits dan para perawinya. Ia sering menyampaikan ceramah, berlaku sopan dalam senda gurau, banyak menghasilkan karya, dan banyak orang yang mengambil manfaat darinya. Ia tergolong ahli hadits yang menguasai ilmu fikih.''
''Ibnu Katsir adalah seorang pemimpin keagamaan yang banyak membaca tasbih dan tahlil. Dia juga seorang pemuka para ahli tafsir,'' kata Ibnu Habib, salah seorang muridnya.
Komentar-komentar tersebut tentunya didasarkan pada kepribadian dan karya sang ulama. Ibnu Katsir telah melahirkan banyak karya monumental. Dan secara moral, ia punya komitmen tinggi pada sifat-sifat luhur seperti yang umumnya dimiliki oleh para ulama besar.
Orang-orang dekat Ibnu Katsir tahu, ulama yang satu ini banyak berdzikir, sangat takwa, sabar, zuhud, dan rendah hati. Dan mampu menyeimbangkan kualitas ilmu dan amalnya. Dengan modal tersebut, tak heran bila Ibnu Katsir menjelma menjadi sosok ulama agung yang sangat diperhitungkan dalam percaturan keilmuan Islam.
Sederhana dan Tawadhu
Meskipun dikenal sebagai ulama besar, Ibnu Katsir diketahui hidup dalam kesederhanaan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sampai kemudian pada 741 H ia mulai dipercaya oleh Gubernur Suriah, Altunbuga An-Nasiri, menduduki jabatan penting.
Ensiklopedi Islam mencatat Ibnu Katsir dipercaya menggantikan gurunya, Adz-Dzahabi, sebagai guru besar bidang hadits di sekolah Turba Umm Salib pada 748 H. Pada 756 H (1355 M), ia dipercaya menduduki jabatan kepala sekolah ilmu hadits bernama Dar Al-Hadis Al-Asyrafiyah, menggantikan Hakim Taqiyuddin as-Subhi. Dan sekitar 10 tahun kemudian, Ibnu Katsir diangkat menjadi guru besar ilmu tafsir di Masjid Umayyah Damaskus.
Jabatan yang diembannya itu menuntut Ibnu Katsir aktif merespons berbagai perkembangan sosial, politik, dan ekonomi dari sudut pandang hukum Islam. Tak jarang para penguasa berkonsultasi seputar masalah-masalah hukum dan politik kepadanya. Ia diminta mengeluarkan fatwa tentang penetapan undang-undang anti-korupsi, rekonsiliasi antara dua kubu yang bertikai, sampai pada jihad di medan perang.
Oleh karena itu, ia menulis banyak buku tentang hukum fikih, untuk dijadikan tuntunan bagi pemerintah dan umat Islam dalam bertindak sesuai ajaran Islam. Karya Ibnu Katsir di bidang fikih yang paling penting adalah Al-Ijtihad fi Thalab Al-Jihad (Ijtihad dalam Memenuhi Kebutuhan Jihad).
Banyak pengamat menilai, ijtihad hukum Ibnu Katsir sangat dipengaruhi oleh gurunya yang paling ia kagumi, yaitu Ibnu Taimiyah. Berkenaan dengan masalah hukum jihad, misalnya, dirinya banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibnu Taimiyah berjudul As-Siyasah Al-Syar'iyyah (Politik Hukum).
Ibnu
Katsir wafat tidak lama setelah selesai menulis buku Al-Ijtihad
fi Thalab Al-Jihad, di usianya yang ke-73 tahun, tepatnya pada
774 H. Ia dikebumikan di pemakaman para sufi di Damaskus, di samping
makam gurunya, Ibnu Taimiyah.
Kobar semangat Ibnu Katsir menggali ilmu agama bertepatan dengan serangkaian tragedi memilukan yang menimpa dunia Islam. Ia menyaksikan kejahatan bangsa Tartar membunuh banyak ulama dan tokoh Muslim, memusnahkan buku-buku khazanah keilmuan Islam, dan menghancurkan pusat-pusat peradaban lslam.
Pada 1260, ia menyaksikan pertempuran Ain Jalut, yaitu pertempuran antara Dinasti Mamluk di Mesir melawan bangsa Mongol.
Namun, ancaman keselamatan itu dapat dilaluinya tanpa menyurutkan semangat belajarnya. Sampai akhirnya, Ibnu Katsir menjelma menjadi ulama dengan segudang wawasan dan melahirkan sejumlah karya monumental.
Di antara disiplin ilmu yang ia geluti adalah tafsir, hadits, sejarah, dan fikih. Dalam disiplin-disiplin itulah, imam besar Masjid Umayyah Damaskus ini mempunyai karya-karya penting yang memberikan manfaat kepada umat Islam hingga sekarang.
Dalam bidang hadits, Ibnu Katsir menulis sekitar lima judul buku. Salah satunya Kitab Jami' Al-Masanid wa As-Sunan (Kitab Himpunan Musnad dan Sunan). Kitab ini berjumlah delapan jilid, yang berisi nama-nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits dalam Musnad Imam Hanbali.
Selain di bidang hadits, Ibnu Katsir menunjukkan kemahirannya dalam bidang tafsir dengan menulis karya agung berjudul Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Kitab tafsir ini terdiri atas 10 jilid. Penyebarannya telah mencapai seluruh pelosok dunia Islam, dan menjadi rujukan banyak ulama sampai dewasa ini.
Keistimewaan karya Ibnu Katsir yang satu ini terletak pada metodologinya dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Mula-mula ia menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran sendiri. Apabila penafsiran ayat Alquran dengan ayat lainnya tidak didapatkan, maka ia menafsirkannya dengan hadits Nabi SAW. Karena, sunah diakui oleh Alquran sendiri bahwa Nabi bertugas untuk menjelaskan kandungan Alquran.
Kalau penjelasan dari Nabi tidak ditemukan, maka Ibnu Katsir beralih kepada pendapat para sahabat. Karena, menurutnya, merekalah yang mengetahui konteks sosial turunnya ayat-ayat Alquran. Dan jika pendapat para sahabat tidak ditemukan juga, ia mengambil pendapat dari kalangan tabi'in.
Di bidang sejarah, Ibnu Katsir tergolong ulama yang sangat diperhitungkan. Betapa tidak, ia menulis empat kitab sejarah penting, yaitu Al-Bidayah wa An-Nihayah, Al-Fushul fi Sirah Ar-Rasul, Tabaqat Asy-Syafi'iyyah, dan Qishash Al-Anbiya' (Kisah Para Nabi).
Karya sejarahnya yang terpenting, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Permulaan dan Akhir), menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam. Utamanya sejarah tentang Dinasti Mamluk di Mesir.
Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah tersebut terdiri atas 10 jilid. Sejarah dalam kitab ini secara umum dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode kuno yang dimulai dari awal penciptaan sampai pada masa kenabian Muhammad SAW. Dan kedua, periode sejarah Islam yang dimulai dari permulaan dakwah Nabi SAW di Makkah sampai pada pertengahan abad ke-8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadiannya.
Sedangkan kemahiran Ibnu Katsir dalam bidang fikih, ia tuangkan dalam karya-karya berikut. Pertama, Al-Ijtihad fi Thalabi Al-Jihad (Ijtihad dalam Memenuhi Kebutuhan Jihad). Dan kedua, Risalah fi Al-Jihad (Sebuah Risalah dalam Jihad). Kedua kitab itu ia tulis untuk merespons kebutuhan umat Islam kala itu dalam dinamika politik dan sosial.
Kobar semangat Ibnu Katsir menggali ilmu agama bertepatan dengan serangkaian tragedi memilukan yang menimpa dunia Islam. Ia menyaksikan kejahatan bangsa Tartar membunuh banyak ulama dan tokoh Muslim, memusnahkan buku-buku khazanah keilmuan Islam, dan menghancurkan pusat-pusat peradaban lslam.
Pada 1260, ia menyaksikan pertempuran Ain Jalut, yaitu pertempuran antara Dinasti Mamluk di Mesir melawan bangsa Mongol.
Namun, ancaman keselamatan itu dapat dilaluinya tanpa menyurutkan semangat belajarnya. Sampai akhirnya, Ibnu Katsir menjelma menjadi ulama dengan segudang wawasan dan melahirkan sejumlah karya monumental.
Di antara disiplin ilmu yang ia geluti adalah tafsir, hadits, sejarah, dan fikih. Dalam disiplin-disiplin itulah, imam besar Masjid Umayyah Damaskus ini mempunyai karya-karya penting yang memberikan manfaat kepada umat Islam hingga sekarang.
Dalam bidang hadits, Ibnu Katsir menulis sekitar lima judul buku. Salah satunya Kitab Jami' Al-Masanid wa As-Sunan (Kitab Himpunan Musnad dan Sunan). Kitab ini berjumlah delapan jilid, yang berisi nama-nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits dalam Musnad Imam Hanbali.
Selain di bidang hadits, Ibnu Katsir menunjukkan kemahirannya dalam bidang tafsir dengan menulis karya agung berjudul Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Kitab tafsir ini terdiri atas 10 jilid. Penyebarannya telah mencapai seluruh pelosok dunia Islam, dan menjadi rujukan banyak ulama sampai dewasa ini.
Keistimewaan karya Ibnu Katsir yang satu ini terletak pada metodologinya dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Mula-mula ia menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran sendiri. Apabila penafsiran ayat Alquran dengan ayat lainnya tidak didapatkan, maka ia menafsirkannya dengan hadits Nabi SAW. Karena, sunah diakui oleh Alquran sendiri bahwa Nabi bertugas untuk menjelaskan kandungan Alquran.
Kalau penjelasan dari Nabi tidak ditemukan, maka Ibnu Katsir beralih kepada pendapat para sahabat. Karena, menurutnya, merekalah yang mengetahui konteks sosial turunnya ayat-ayat Alquran. Dan jika pendapat para sahabat tidak ditemukan juga, ia mengambil pendapat dari kalangan tabi'in.
Di bidang sejarah, Ibnu Katsir tergolong ulama yang sangat diperhitungkan. Betapa tidak, ia menulis empat kitab sejarah penting, yaitu Al-Bidayah wa An-Nihayah, Al-Fushul fi Sirah Ar-Rasul, Tabaqat Asy-Syafi'iyyah, dan Qishash Al-Anbiya' (Kisah Para Nabi).
Karya sejarahnya yang terpenting, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Permulaan dan Akhir), menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam. Utamanya sejarah tentang Dinasti Mamluk di Mesir.
Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah tersebut terdiri atas 10 jilid. Sejarah dalam kitab ini secara umum dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode kuno yang dimulai dari awal penciptaan sampai pada masa kenabian Muhammad SAW. Dan kedua, periode sejarah Islam yang dimulai dari permulaan dakwah Nabi SAW di Makkah sampai pada pertengahan abad ke-8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadiannya.
Sedangkan kemahiran Ibnu Katsir dalam bidang fikih, ia tuangkan dalam karya-karya berikut. Pertama, Al-Ijtihad fi Thalabi Al-Jihad (Ijtihad dalam Memenuhi Kebutuhan Jihad). Dan kedua, Risalah fi Al-Jihad (Sebuah Risalah dalam Jihad). Kedua kitab itu ia tulis untuk merespons kebutuhan umat Islam kala itu dalam dinamika politik dan sosial.
Redaktur:
Chairul Akhmad
Sumber: Pusat Data Republika