Laman

Senin, 10 Desember 2012





"..Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman".
(QS. An Nisaa' 103)






Semarang, 11/12/2012, 28 Muharram 1434 H

Ada satu pertanyaan dari "tetangga" beberapa waktu yang lalu yang kurang lebihnya yaitu "perintah shalat lima waktu tidak disebutkan  dalam Al Qur'an,jadi mengapa dasar umat muslim melakukan shalat lima waktu (bila tidak disebutkan dalam Al Qur'an) ?"


Jika memang jeli, dalil shalat fardu telah disebutkan dalam Al Qur'an bahwa shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya  :

فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًۭا مَّوْقُوتًۭا

Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(QS. An Nisaa' 103)


Dan untuk memahami Al Qur'an juga tidak bisa dipisahkan dengan As Sunnah.Waktu-waktu shalat tersebut telah disebutkan dalam hadits2 Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa malaikat Jibril yang sebagai penyampai wahyu dari Allah swt,mengabarkan tentang waktu-waktu shalat tersebut dan mengajari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ قَالَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَخَّرَ الْعَصْرَ شَيْئًا فَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ أَمَا إِنَّ جِبْرِيلَ قَدْ نَزَلَ فَصَلَّى إِمَامَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ اعْلَمْ مَا تَقُولُ يَا عُرْوَةُ فَقَالَ سَمِعْتُ بَشِيرَ بْنَ أَبِي مَسْعُودٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا مَسْعُودٍ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَزَلَ جِبْرِيلُ فَأَمَّنِي فَصَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ يَحْسُبُ بِأَصَابِعِهِ خَمْسَ صَلَوَاتٍ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Said telah menceritakan kepada kami Laits dia berkata, (Dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada kami Ibn Rumh telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Syihab bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah mengakhirkan shalat Ashr, lalu 'Urwah berkata kepadanya;
"Ketahuilah, sesungguhnya Jibril telah turun dan shalat sebagai imam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." 
Maka Umar berkata kepadanya; "Ketahuilah apa yang kamu katakan wahai Urwah!"
Umar melanjutkan, aku pernah mendengar Basyir bin Abu Mas'ud mengatakan; Aku mendengar Abu Mas'ud berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; 
"Jibril turun dan mengimamiku, maka aku pun shalat bersamanya, kemudian aku shalat bersamanya, kemudian aku shalat bersamanya, kemudian aku shalat bersamanya, kemudian aku shalat bersamanya." beliau sambil menghitung dengan jari jemarinya sebanyak lima kali.
(Shahih Muslim no.959)


Dan dalam riwayat Abu Daud dijelaskan lebih lengkap Jibril dalam mengajarkan dan mengabarkan waktu-waktu shalat tersebut.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ قَاعِدًا عَلَى الْمِنْبَرِ فَأَخَّرَ الْعَصْرَ شَيْئًا فَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَمَا إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَخْبَرَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَقْتِ الصَّلَاةِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ اعْلَمْ مَا تَقُولُ فَقَالَ عُرْوَةُ سَمِعْتُ بَشِيرَ بْنَ أَبِي مَسْعُودٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَزَلَ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَنِي بِوَقْتِ الصَّلَاةِ فَصَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ ثُمَّ صَلَّيْتُ مَعَهُ يَحْسُبُ بِأَصَابِعِهِ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ وَرُبَّمَا أَخَّرَهَا حِينَ يَشْتَدُّ الْحَرُّ وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ بَيْضَاءُ قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَهَا الصُّفْرَةُ فَيَنْصَرِفُ الرَّجُلُ مِنْ الصَّلَاةِ فَيَأْتِي ذَا الْحُلَيْفَةِ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَيُصَلِّي الْمَغْرِبَ حِينَ تَسْقُطُ الشَّمْسُ وَيُصَلِّي الْعِشَاءَ حِينَ يَسْوَدُّ الْأُفُقُ وَرُبَّمَا أَخَّرَهَا حَتَّى يَجْتَمِعَ النَّاسُ وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ التَّغْلِيسَ حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ الزُّهْرِيِّ مَعْمَرٌ وَمَالِكٌ وَابْنُ عُيَيْنَةَ وَشُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَغَيْرُهُمْ لَمْ يَذْكُرُوا الْوَقْتَ الَّذِي صَلَّى فِيهِ وَلَمْ يُفَسِّرُوهُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ وَحَبِيبُ بْنُ أَبِي مَرْزُوقٍ عَنْ عُرْوَةَ نَحْوَ رِوَايَةِ مَعْمَرٍ وَأَصْحَابِهِ إِلَّا أَنَّ حَبِيبًا لَمْ يَذْكُرْ بَشِيرًا وَرَوَى وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقْتَ الْمَغْرِبِ قَالَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ يَعْنِي مِنْ الْغَدِ وَقْتًا وَاحِدًا وَكَذَلِكَ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثُمَّ صَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ يَعْنِي مِنْ الْغَدِ وَقْتًا وَاحِدًا وَكَذَلِكَ رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ مِنْ حَدِيثِ حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah Al Muradi telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Usamah bin Zaid Al Laitsi dari Ibnu Syihab dia telah mengabarkan kepadanya bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah duduk berkhutbah di atas mimbar hingga mengakhirkan sedikit waktu Ashar. Maka Urwah bin Az Zubair berkata kepadanya; Ketahuilah, sesungguhnya Jibril Alaihis Salam telah mengabarkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam tentang waktu shalat. Maka Umar berkata kepadanya; Ketahuilah apa yang kamu katakan. 
Urwah mengatakan; Saya mendengar Basyir bin Abu Mas'ud berkata; Saya telah mendengar Abu Mas'ud Al Anshari berkata; Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 
"Jibril Alaihis Salam turun lalu mengabarkan kepadaku tentang waktu shalat. Saya shalat bersamanya, kemudian shalat bersamanya, kemudian shalat bersamanya, kemudian shalat bersamanya, kemudian shalat bersamanya", beliau menghitung sampai lima kali shalat dengan jari-jarinya, lalu saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat Zhuhur tatkala matahari tergelincir, dan terkadang mengakhirkannya hingga panas semakin menjadi, dan saya melihat beliau shalat Ashar sedangkan matahari tinggi berwarna putih sebelum warna kuning memasukinya, seseorang pergi dari shalat kemudian ke Dzul Hulaifah sebelum matahari tenggelam.
Kemudian beliau shalat Maghrib ketika matahari tenggelam, dan shalat Isya tatkala ufuk berwarna hitam, dan terkadang mengakhirkannya hingga orang-orang berkumpul.
Dan beliau shalat Shubuh terkadang tatkala ghalas (kegelapan akhir malam telah bercampur dengan cahaya pagi) dan pada kesempatan yang lain tatkala cahaya telah terang. 
Setelah itu shalatnya adalah pada saat ghalas hingga beliau wafat dan tidak pernah mengulangi shalat Shubuh hingga cahaya telah terang. 
Abu Dawud berkata; Telah meriwayatkan hadits ini dari Az Zuhri, Ma'mar dan Malik dan Ibnu Uyainah dan Syu'aib bin Abu Hamzah dan Al Laits bin bin Sa'd dan selain mereka, tidak menyebutkan waktu yang beliau shalat padanya dan tidak menafsirkannya. Demikian pula diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah dan Habib bin Abu Marzuq dari Urwah semisal riwayat Ma'mar dan para sahabatnya, hanya saja Habib tidak menyebutkan Basyir. 
Dan Wahb bin Kaisan meriwayatkan dari Jabir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang waktu Maghrib, dia mengatakan; kemudian Jibril mendatangi Rasulullah untuk shalat Maghrib, yakni tatkala esok harinya dengan waktu yang sama. 
Demikian pula diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: 
"Kemudian Jibril shalat bersamaku, yakni pada esok harinya dengan waktu yang sama". Demikian pula diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Al Ash dari hadits Hassan bin 'Athiyyah dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
(HR.Abu Daud no.333)


"...Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: 

"Dimanakah orang yang bertanya tentang waktu shalat tadi?" 
laki-laki itu berkata; "Aku wahai Rasulullah" Beliau bersabda:
 "Waktu shalat kalian adalah antara waktu yang telah kalian lihat sendiri."
(Shahih Muslim no.969)



Dan dalam Shahih Muslim lainnya disebutkan  bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi  shallallahu 'alaihi wasallam tentang waktu shalat.Kemudian Beliau mengajaknya untuk shalat selama 2 hari bersama Beliau.

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ الْأَزْرَقِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ يُوسُفَ الْأَزْرَقُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ فَقَالَ لَهُ صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ يَعْنِي الْيَوْمَيْنِ فَلَمَّا زَالَتْ الشَّمْسُ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الظُّهْرَ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْمَغْرِبَ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ طَلَعَ الْفَجْرُ فَلَمَّا أَنْ كَانَ الْيَوْمُ الثَّانِي أَمَرَهُ فَأَبْرَدَ بِالظُّهْرِ فَأَبْرَدَ بِهَا فَأَنْعَمَ أَنْ يُبْرِدَ بِهَا وَصَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِي كَانَ وَصَلَّى الْمَغْرِبَ قَبْلَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ وَصَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَمَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ وَصَلَّى الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَقْتُ صَلَاتِكُمْ بَيْنَ مَا رَأَيْتُمْ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan 'Ubaidullah bin Sa'id keduanya dari Al Azraq. Zuhair mengatakan; telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Yusuf Al Azraq telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada beliau tentang waktu shalat, maka beliau menjawab:
"Shalatlah bersama kami selama dua hari ini." 
Ketika matahari telah condong, beliau menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan, kemudian beliau memerintahkan Bilal untuk mengiqamati shalat zhuhur, setelah itu beliau memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan adzan untuk shalat ashar, yaitu ketika matahari masih meninggi putih cemerlang, waktu selanjutnya beliau memerintahkan sehingga Bilal mengiqamati shalat maghrib, yaitu ketika matahari sudah menghilang, setelah itu beliau memerintahkan Bilal untuk mengiqamati shalat isya`, yaitu ketika mega merah telah menghilang, waktu selanjutnya beliau memerintahkan supaya Bilal mengiqamati shalat subuh (fajar), yaitu ketika fajar terbit. 
Di hari kedua, beliau memerintahkan Bilal supaya mengakhirkan shalat zhuhur hingga cuaca agak dingin, maka Bilal pun mengakhirkan hingga cuaca agak dingin, dengan demikian beliau telah memberi kenyamanan dengan menangguhkan zhuhur hingga cuaca agak dingin, dan beliau shalat ashar ketika matahari masih tinggi, beliau mengakhirkannya lebih dari waktu sebelumnya, setelah itu beliau melaksanakan shalat maghrib sebelum mega merah menghilang, dan beliau mengerjakan shalat isya` setelah sepertiga malam berlalu, beliau lalu shalat fajar (subuh) ketika fajar telah merekah, kemudian beliau bertanya: 
"Dimanakah orang yang bertanya tentang waktu shalat tadi?" 
laki-laki itu berkata; "Aku wahai Rasulullah" 
Beliau bersabda: "Waktu shalat kalian adalah antara waktu yang telah kalian lihat sendiri."

(Shahih Muslim no.969)




***


>> shalat,shalat lima waktu,shalat fardu,shalat fardhu,sahalat fardu lima waktu,dalil shalat,dalil shalat lima waktu <<





@s/12

Senin, 01 Oktober 2012

Inilah 17 dalil tak ada Nabi baru setelah Muhammad.




TAK ADA NABI BARU LAGI SETELAH RASULULLAH SAW
-----------------------------------------


1.  QS AL AHZAB 40: " Bukanlah Muhammad itu bapak salah
    seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah
    Rasulullah dan penutup Nabi-nabi"

2.  Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu
    Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

    "Perumpamaan saya dan para Nabi 
    sebelum saya seperti orang yang membangun satu bangunan lalu dia 
    membaguskan dan    membuat indah bangunan itu kecuali tempat batu
     yang ada di salah satu sudut. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan
    mereka ta'juk lalu berkata: 'kenapa kamu tidak taruh batu
    ini.?' Nabi menjawab : Sayalah batu itu dan saya penutup
    Nabi-nabi"

3.  Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jubair bin Mut'im RA
    bahwa Nabi SAW bersabda:

    "Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya
    Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran
    karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia berkumpul di
    kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya"
    
4.  Abu Daud dan yang lain dalam hadist Thauban Al-Thawil,
    bersabda Nabi Muhammad SAW:
    
    "Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan
    saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku"

5.  Khutbah terakhir Rasulullah ...

    " ...Wahai manusia, tidak ada nabi atau rasul yang akan
    datang sesudahku dan tidak ada agama baru yang akan lahir.
    Karena itu, wahai manusia, berpikirlah dengan baik dan
    pahamilah kata-kata yang kusampaikan kepadamu. Aku
    tinggalkan dua hal: Al Quran dan Sunnah, contoh-contoh
    dariku; dan jika kamu ikuti keduanya kamu tidak akan pernah
    tersesat ..."

6.  Rasulullah SAW menjelaskan: "Suku Israel dipimpim oleh
    Nabi-nabi. Jika seorang Nabi meninggal dunia, seorang nabi
    lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang
    sesudahku; hanya para kalifah yang akan menjadi penerusku
    (Bukhari, Kitab-ul-Manaqib).
    
7.  Rasulullah SAW menegaskan: "Posisiku dalam hubungan
    dengan nabi-nabi yang datang sebelumku dapat dijelaskan
    dengan contoh berikut: Seorang laki-laki mendirikan sebuah
    bangunan dan menghiasinya dengan keindahan yang agung,
    tetapi dia menyisakan sebuah lubang di sudut untuk tempat
    sebuah batu yang belum dipasang. Orang-orang melihat
    sekeliling bangunan tersebut dan mengagumi keindahannya,
    tetapi bertanya-tanya, kenapa ada sebuah batu yang hilang
    dari lubang tersebut? Aku seperti batu yang hilang itu dan
    aku adalah yang terakhir dalam jajaran Nabi-nabi". (Bukhari,
    Kitab-ul-Manaqib).
    
8.  Rasulullah SAW menyatakan: "Allah telah memberkati aku
    dengan enam macam kebaikan yang tidak dinikmati Nabi-nabi
    terdahulu: - Aku dikaruniai keahlian berbicara yang efektif
    dan sempurna. - Aku diberi kemenangan kare musuh gentar
    menghadapiku - Harta rampasan perang dihalalkan bagiku. -
    Seluruh bumi telah dijadikan tempatku beribadah dan juga
    telah menjadi alat pensuci bagiku. Dengan kata lain, dalam
    agamaku, melakukan shalat tidak  harus di suatu tempat
    ibadah tertentu. Shalat dapat dilakukan di manapun di  atas
    bumi. Dan jika air tidak tersedia, ummatku diizinkan untuk
    berwudhu dengan tanah (Tayammum) dan membersihkan dirinya
    dengan tanah jika air untuk mandi langka. - Aku diutus Allah
    untuk menyampaikan pesan suciNYA bagi seluruh dunia. - Dan
    jajaran Kenabian telah mencapai akhirnya padaku (Riwayat
    Muslim, Tirmidhi, Ibnu Majah)
    
9.  Rasulullah SAW menegaskan: "Rantai Kerasulan dan Kenabian
    telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan
    nabi sesudahku". (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab
    Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).
    
10. Rasulullah SAW menjelaskan: 'Saya Muhammad, Saya Ahmad,
    Saya Pembersih dan kekafiran harus dihapuskan melalui aku;
    Saya Pengumpul, Manusia harus berkumpul pada hari kiamat
    yang datang sesudahku. (Dengan kata lain, Kiamat adalah
    satu-satunya yang akan datang sesudahku); dan saya adalah
    Yang Terakhir dalam arti tidak ada nabi yang datang
    sesudahku". (Bukhari dan Muslim, Kitab-ul-Fada'il, Bab
    Asmaun-Nabi; Tirmidhi, Kitab-ul-Adab, Bab Asma-un-Nabi;
    Muatta', Kitab-u-Asma-in-Nabi; Al-Mustadrak Hakim,
    Kitab-ut-Tarikh, Bab Asma-un-Nabi).
    
11. Rasulullah SAW menjelaskan: "Allah yang Maha Kuasa tidak
    mengirim seorang Nabi pun ke dunia ini yang tidak
    memperingatkan ummatnya tentang kemunculan Dajjal
    (Anti-Kristus, tetapi Dajjal tidak muncul dalam masa
    mereka). Aku yang terakhir dalam jajaran Nabi-Nabi dan
    kalian ummat terakhir yang beriman. Tidak diragukan, suatu
    saat, Dajjal akan datang dari antara kamu". (Ibnu Majah,
    Kitabul Fitan, Bab Dajjal).
    
12. Abdur Rahman bin Jubair melaporkan: "Saya mendengar
    Abdullah bin 'Amr ibn-'As menceritakan bahwa suatu hari
    Rasulullah SAW keluar dari rumahnya dan bergabung dengan
    mereka. Tindak-tanduknya memberi kesan seolah-olah beliau
    akan meninggalkan kita. Beliau berkata: "Aku Muhammad, Nabi
    Allah yang buta huruf", dan mengulangi pernyataan itu tiga
    kali. Lalu beliau menegaskan: "Tidak ada lagi Nabi
    sesudahku". (Musnad Ahmad, Marwiyat 'Abdullah bin 'Amr
    ibn-'As).
    
13. Rasulullah SAW berkata: " Allah tidak akan mengutus Nabi
    sesudahku, tetapi hanya Mubashirat". Dikatakan, apa yang
    dimaksud dengan al-Mubashirat. Beliau berkata: Visi yang
    baik atau visi yang suci". (Musnad Ahmad, marwiyat Abu
    Tufail, Nasa'i, Abu Dawud). (Dengan kata lain tidak ada
    kemungkinan turunnya wahyu Allah di masa yang akan datang.
    Paling tinggi, jika seseorang mendapat inspirasi dari Allah,
    dia akan menerimanya dalam bentuk mimpi yang suci).
    
14. Rasulullah SAW berkata: "Jika benar seorang Nabi akan
    datang sesudahku, orang itu tentunya Umar bin Khattab".
    (Tirmidhi, Kitab-ul-Manaqib).
    
15. Rasulullah SAW berkata kepada 'Ali, "Hubunganmu denganku
    ialah seperti hubungan Harun dengan Musa. Tetapi tidak ada
    Nabi yang akan datang sesudahku". (Bukhari dan Muslim, Kitab
    Fada'il as-Sahaba).
    
16. Rasulullah SAW menjelaskan: "Di antara suku Israel
    sebelum kamu, benar-benar ada orang-orang yang berkomunikasi
    dengan Tuhan, meskipun mereka bukanlah NabiNYA. Jika ada
    satu orang di antara ummatku yang akan berkomunikasi dengan
    Allah, orangnya tidak lain daripada Umar. (Bukhari,
    Kitab-ul-Manaqib)
    
17. Rasulullah SAW berkata: "Tidak ada Nabi yang akan datang
    sesudahku dan karena itu, tidak akan ada ummat lain pengikut
    nabi baru apapun". (Baihaqi, Kitab-ul-Rouya; Tabrani)


Sumber: http://media.isnet.org/islam/Ahmadiyyah/Dalil17.html



Jumat, 06 Juli 2012

Hujjatul Islam:

Ibnu Katsir, Guru Umat dan Suluh Penguasa


Ibnu Katsir mendapat julukan Al-Hafizh, Al-Hujjah, dan Al-Muarrikh. Pantas ia menerima penghormatan itu. Pasalnya, ia menguasai banyak disiplin ilmu keislaman, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, dan sejarah.

Ulama sekelas Imam Adz-Dzahabi pun tak segan menyanjungnya. Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadis), ilmuwan, ahli fikih, ahli tafsir, dan punya karya monumenal yang banyak dan bermanfaat.

Nama lengkap Ibnu Katsir adalah Abu Al-Fida' Imaduddin Ismail bin Hafsh Syihabuddin Umar bin Katsir. Ia lahir di Majlah, salah satu kota di Bashrah, sebelah timur Kota Damaskus, pada 701 H. Ayahnya meninggal dunia sejak dia masih belia. Sehingga, pendidikan awal Ibnu Katsir diawasi oleh saudara-saudaranya. Ia merupakan anak termuda dalam keluarganya.

Ada yang berpendapat bahwa ayah Ibnu Katsir meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Pendapat lain mengatakan ketika berusia empat tahun. Dan pendapat terakhir menyebutkan ketika ia berusia enam tahun. Pendapat yang terakhir disinyalir Ensiklopedi Islam sebagai yang paling sahih.

Meski sang ayah meninggalkannya sejak usia dini, namun pengaruhnya begitu kuat bercokol dalam diri Ibnu Katsir. Menurut sebuah riwayat, ayah Ibnu Katsir adalah seorang khatib. Sang ayah dikenal taat beragama, kuat menjunjung nilai-nilai keilmuan, dan pendidik yang bersemangat. Ibnu Katsir mewarisi kebesaran ayahnya, bahkan kemudian ia menjadi lebih besar.

Sejatinya, kebesaran Ibnu Katsir tampak sejak masih berusia kanak-kanak. Pendidikan awalnya diasuh oleh saudaranya, Syekh Abdul Wahab. Pada periode ini, Ibnu Katsir belajar ilmu-ilmu agama. Ia dengan cepat menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Sehingga pada 706 H, ketika berusia lima tahun, saudaranya mengirimkan Ibnu Katsir ke Kota Damaskus untuk memperdalam ilmu agama.

Di kota itu ia belajar ilmu fikih Syafi'i kepada syekh besar Damaskus, Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman Al-Fazariy (W 729). Menginjak usia 11 tahun, ia sudah selesai menghafalkan 30 juz Alquran. Kemudian, dari Kota Damaskus itulah, ia memulai pengembaraannya untuk memperkaya ilmu agama.

Tak dapat dinafikan pula bahwa kebesaran Ibnu Katsir juga ditunjang oleh kebesaran guru-gurunya. Selain syekh besar Damaskus, sederet nama ulama agung tercatat sebagai pembimbingnya. Di bidang usul fikih, ia diasuh oleh Syekh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah, di bidang hadis ia berguru kepada Syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki Al-Mazi dan Syekh Nazmuddin bin Al-Asqalani, dan di bidang sejarah belajar kepada Syekh Syamsuddin Adz-Dzahabi.

Sejumlah orang dekatnya, termasuk para ulama, memuji keilmuan dan ketokohan Ibnu Katsir.

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, ''Ia telah menyibukkan diri dengan hadits, banyak menelaah matan-matan hadits dan para perawinya. Ia sering menyampaikan ceramah, berlaku sopan dalam senda gurau, banyak menghasilkan karya, dan banyak orang yang mengambil manfaat darinya. Ia tergolong ahli hadits yang menguasai ilmu fikih.''

''Ibnu Katsir adalah seorang pemimpin keagamaan yang banyak membaca tasbih dan tahlil. Dia juga seorang pemuka para ahli tafsir,'' kata Ibnu Habib, salah seorang muridnya.

Komentar-komentar tersebut tentunya didasarkan pada kepribadian dan karya sang ulama. Ibnu Katsir telah melahirkan banyak karya monumental. Dan secara moral, ia punya komitmen tinggi pada sifat-sifat luhur seperti yang umumnya dimiliki oleh para ulama besar.

Orang-orang dekat Ibnu Katsir tahu, ulama yang satu ini banyak berdzikir, sangat takwa, sabar, zuhud, dan rendah hati. Dan mampu menyeimbangkan kualitas ilmu dan amalnya. Dengan modal tersebut, tak heran bila Ibnu Katsir menjelma menjadi sosok ulama agung yang sangat diperhitungkan dalam percaturan keilmuan Islam.

Sederhana dan Tawadhu

Meskipun dikenal sebagai ulama besar, Ibnu Katsir diketahui hidup dalam kesederhanaan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sampai kemudian pada 741 H ia mulai dipercaya oleh Gubernur Suriah, Altunbuga An-Nasiri, menduduki jabatan penting.

Ensiklopedi Islam mencatat Ibnu Katsir dipercaya menggantikan gurunya, Adz-Dzahabi, sebagai guru besar bidang hadits di sekolah Turba Umm Salib pada 748 H. Pada 756 H (1355 M), ia dipercaya menduduki jabatan kepala sekolah ilmu hadits bernama Dar Al-Hadis Al-Asyrafiyah, menggantikan Hakim Taqiyuddin as-Subhi. Dan sekitar 10 tahun kemudian, Ibnu Katsir diangkat menjadi guru besar ilmu tafsir di Masjid Umayyah Damaskus.

Jabatan yang diembannya itu menuntut Ibnu Katsir aktif merespons berbagai perkembangan sosial, politik, dan ekonomi dari sudut pandang hukum Islam. Tak jarang para penguasa berkonsultasi seputar masalah-masalah hukum dan politik kepadanya. Ia diminta mengeluarkan fatwa tentang penetapan undang-undang anti-korupsi, rekonsiliasi antara dua kubu yang bertikai, sampai pada jihad di medan perang.

Oleh karena itu, ia menulis banyak buku tentang hukum fikih, untuk dijadikan tuntunan bagi pemerintah dan umat Islam dalam bertindak sesuai ajaran Islam. Karya Ibnu Katsir di bidang fikih yang paling penting adalah Al-Ijtihad fi Thalab Al-Jihad (Ijtihad dalam Memenuhi Kebutuhan Jihad).

Banyak pengamat menilai, ijtihad hukum Ibnu Katsir sangat dipengaruhi oleh gurunya yang paling ia kagumi, yaitu Ibnu Taimiyah. Berkenaan dengan masalah hukum jihad, misalnya, dirinya banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibnu Taimiyah berjudul As-Siyasah Al-Syar'iyyah (Politik Hukum).

Ibnu Katsir wafat tidak lama setelah selesai menulis buku Al-Ijtihad fi Thalab Al-Jihad, di usianya yang ke-73 tahun, tepatnya pada 774 H. Ia dikebumikan di pemakaman para sufi di Damaskus, di samping makam gurunya, Ibnu Taimiyah.

Kobar semangat Ibnu Katsir menggali ilmu agama bertepatan dengan serangkaian tragedi memilukan yang menimpa dunia Islam. Ia menyaksikan kejahatan bangsa Tartar membunuh banyak ulama dan tokoh Muslim, memusnahkan buku-buku khazanah keilmuan Islam, dan menghancurkan pusat-pusat peradaban lslam.

Pada 1260, ia menyaksikan pertempuran Ain Jalut, yaitu pertempuran antara Dinasti Mamluk di Mesir melawan bangsa Mongol.

Namun, ancaman keselamatan itu dapat dilaluinya tanpa menyurutkan semangat belajarnya. Sampai akhirnya, Ibnu Katsir menjelma menjadi ulama dengan segudang wawasan dan melahirkan sejumlah karya monumental.

Di antara disiplin ilmu yang ia geluti adalah tafsir, hadits, sejarah, dan fikih. Dalam disiplin-disiplin itulah, imam besar Masjid Umayyah Damaskus ini mempunyai karya-karya penting yang memberikan manfaat kepada umat Islam hingga sekarang.

Dalam bidang hadits, Ibnu Katsir menulis sekitar lima judul buku. Salah satunya Kitab Jami' Al-Masanid wa As-Sunan (Kitab Himpunan Musnad dan Sunan). Kitab ini berjumlah delapan jilid, yang berisi nama-nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits dalam Musnad Imam Hanbali.

Selain di bidang hadits, Ibnu Katsir menunjukkan kemahirannya dalam bidang tafsir dengan menulis karya agung berjudul Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Kitab tafsir ini terdiri atas 10 jilid. Penyebarannya telah mencapai seluruh pelosok dunia Islam, dan menjadi rujukan banyak ulama sampai dewasa ini.

Keistimewaan karya Ibnu Katsir yang satu ini terletak pada metodologinya dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Mula-mula ia menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran sendiri. Apabila penafsiran ayat Alquran dengan ayat lainnya tidak didapatkan, maka ia menafsirkannya dengan hadits Nabi SAW. Karena, sunah diakui oleh Alquran sendiri bahwa Nabi bertugas untuk menjelaskan kandungan Alquran.

Kalau penjelasan dari Nabi tidak ditemukan, maka Ibnu Katsir beralih kepada pendapat para sahabat. Karena, menurutnya, merekalah yang mengetahui konteks sosial turunnya ayat-ayat Alquran. Dan jika pendapat para sahabat tidak ditemukan juga, ia mengambil pendapat dari kalangan tabi'in.

Di bidang sejarah, Ibnu Katsir tergolong ulama yang sangat diperhitungkan. Betapa tidak, ia menulis empat kitab sejarah penting, yaitu Al-Bidayah wa An-Nihayah, Al-Fushul fi Sirah Ar-Rasul, Tabaqat Asy-Syafi'iyyah, dan Qishash Al-Anbiya' (Kisah Para Nabi).

Karya sejarahnya yang terpenting, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Permulaan dan Akhir), menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam. Utamanya sejarah tentang Dinasti Mamluk di Mesir.

Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah tersebut terdiri atas 10 jilid. Sejarah dalam kitab ini secara umum dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode kuno yang dimulai dari awal penciptaan sampai pada masa kenabian Muhammad SAW. Dan kedua, periode sejarah Islam yang dimulai dari permulaan dakwah Nabi SAW di Makkah sampai pada pertengahan abad ke-8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadiannya.

Sedangkan kemahiran Ibnu Katsir dalam bidang fikih, ia tuangkan dalam karya-karya berikut. Pertama, Al-Ijtihad fi Thalabi Al-Jihad (Ijtihad dalam Memenuhi Kebutuhan Jihad). Dan kedua, Risalah fi Al-Jihad (Sebuah Risalah dalam Jihad). Kedua kitab itu ia tulis untuk merespons kebutuhan umat Islam kala itu dalam dinamika politik dan sosial.


Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber: Pusat Data Republika

Kamis, 14 Juni 2012

Pengetahuan Tentang Hari Kiamat


PENGETAHUAN TENTANG HARI KIAMAT
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
Pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh banyak ayat di dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Dia tidak menampakkannya kepada seorang Malaikat yang didekatkan tidak juga kepada seorang Nabi yang diutus[1]. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya Kiamat kecuali Allah Ta’ala.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering sekali membicarakan keadaan Kiamat dan kedahsyatannya, sehingga orang-orang waktu itu bertanya kepada beliau kapan terjadinya Kiamat. Beliau mengabarkan bahwa itu adalah masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, demikian pula ayat al-Qur-an menjelaskan bahwa pengetahuan tentang kapan terjadinya Kiamat adalah sesuatu yang dikhususkan Allah untuk diri-Nya.
Di antaranya adalah firman-Nya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]
Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mengabarkan kepada manusia bahwa pengetahuan tentang terjadinya Kiamat hanya ada di sisi Allah semata, hanya Dia-lah yang mengetahui masalahnya dengan jelas dan kapan terjadinya, tidak seorang pun dari penduduk langit dan bumi mengetahuinya.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]
Juga sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا إِلَىٰ رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).” [An-Naazi’aat: 42-44]
Maka puncak dari pengetahuan tentang hari Kiamat kembali kepada Allah semata.
Karena itulah, ketika Jibril Alaihissallam bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hari Kiamat -sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril yang panjang- Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
“Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.”[2]

Jibril tidak mengetahui kapan hari Kiamat itu terjadi, begitu pun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian pula Nabi ‘Isa Alaihissallam, beliau tidak mengetahui kapan Kiamat itu terjadi, padahal beliau akan turun ketika Kiamat sudah dekat. Bahkan (turunnya Nabi ‘Isa) termasuk tanda-tanda besar Kiamat, sebagaimana akan dijelaskan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian pula Ibnu Majah dan al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَقِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَـى وَعِيْسَى، قَالَ: فَتَذَاكَرُوا أَمْرَ السَّاعَةِ، فَرَدُّوا أَمْرَهُمْ إِلَى إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى عِيْسَـى فَقَالَ: أَمَّا وَجْبَتُهَا؛ فَلاَ يَعْلَمُهَا أَحَدٌ إِلاَّ اللهُ ذَلِكَ، وَفِيمَـا عَهِدَ إِلَيَّ رَبِّـي عَزَوَجَلَّ أَنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ، قَالَ وَمَعِي قَضِيبَانِ، فَإِذَا رَآنِـي، ذَابَ كَمَا يَذُوبُ الرَّصَاصُ. قَالَ: فَيُهْلِكُهُ اللهُ.
“Pada malam aku di-Isra'kan ke langit, aku bertemu dengan Ibrahim, Musa, dan ‘Isa.” Beliau bersabda, “Lalu mereka saling menyebutkan tentang perkara Kiamat, selanjutnya mereka mengembalikan perkara mereka kepada Ibrahim, maka beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada Musa.’ Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada ‘Isa.’ Akhirnya beliau berkata, ‘Adapun kapan terjadinya, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Di antara wahyu yang diberikan oleh Rabb-ku Azza wa Jalla kepadaku, ‘Sesungguhnya Dajjal akan keluar.’ Beliau berkata, ‘Dan aku membawa dua pedang. Jika dia melihatku, maka dia akan meleleh sebagaimana timah yang meleleh.’ Beliau berkata, ‘Lalu Allah membinasakannya.’” [3]
Mereka adalah para Ulul Azmi dari kalangan para Rasul, dan mereka tidak mengetahui kapan terjadinya Kiamat.
Dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda sebulan sebelum beliau wafat:
تَسْأَلُونِي عَنِ السَّاعَةِ؟ وَإِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللهِ وَأُقْسِمُ بِاللهِ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ.
‘Kalian bertanya kepadaku tentang hari Kiamat? Sedangkan ilmunya hanyalah ada di sisi Allah, dan aku bersumpah dengan Nama Allah, tidak ada satu makhluk hidup pun yang lahir di atas bumi ini yang berumur seratus tahun.’” [4][5]

Hadits ini menafikan kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahuinya setelah pertanyaan Jibril kepadanya.
Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan, “Nabi yang ummi ini adalah pemimpin para Rasul, dan penutup mereka -shalawat dan salam dari Allah semoga dilimpahkan kepadanya- Nabi pembawa rahmat, penyeru taubat, pemimpin perang, pemberi keputusan, yang menghormati tamu, penghimpun, di mana semua manusia berkumpul padanya (untuk memperoleh syafa’at), di mana beliau pun bersabda dalam hadits yang shahih dari hadits Anas dan Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhuma:
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ.
‘Diutusnya aku dan hari Kiamat bagaikan dua (jari) ini.’ [6]
Beliau mendekatkan jari telunjuk dan yang ada setelahnya (jari tengah). Walaupun demikian keadaan beliau, Allah telah memerintahkannya agar mengembalikan ilmu tentang Kiamat kepada-Nya jika ditanya tentangnya, Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“... Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 187][7]
Siapa saja yang beranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, maka dia adalah orang bodoh, karena ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi yang telah disebutkan menolak anggapan tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan orang yang mengaku-aku sebagai ahli ilmu pada zaman kita ini telah menampakkan kebohongan. Dia berpura-pura kenyang (dengan ilmu) padahal ilmu itu tidak diberikan kepadanya bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat.” (Sangat pantas jika) dikatakan kepadanya, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa salla pernah bersabda di dalam hadits Jibril:
مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
‘Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.’
Lalu mereka menyelewengkan makna yang sebenarnya, seraya berkata, “Maknanya adalah, ‘Aku dan engkau mengetahuinya.’”
Ini merupakan kebodohan yang paling besar, dan penyelewengan makna yang paling buruk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih mengenal Allah, (maka tidak pantas) dia mengatakan kepada seseorang yang dianggapnya sebagai seorang badui, “Aku dan engkau mengetahui kapan Kiamat itu terjadi,” hanya saja orang bodoh itu berkata, “Sebelumnya beliau tahu bahwa dia adalah Jibril,” padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jujur dalam perkataannya, beliau bersabda:
مَا جَائَنِيْ فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.” [8]
Dalam lafazh yang lain:
مَا شُبِّهَ عَلَيَّ غَيْرَ هَذِهِ الْمَرَّةِ.
“Dia (Jibril) tidak pernah disamarkan kepadaku selain pada kesempatan ini.”
Sementara dalam lafazh yang lain:
رُدُّوْا عَلَيَّ اْلأَعْرَابِيَّ...
“Bawa kepadaku orang badui itu...”
Lalu mereka pergi untuk mencarinya, akan tetapi mereka tidak mendapatkannya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia adalah Jibril setelah beberapa saat, sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar Radhiyallahu anhuma, “Lalu aku terdiam dalam waktu yang lama, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai ‘Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?’” [9]

Orang yang menyelewengkan makna tersebut berkata, “Beliau mengetahui bahwa dia adalah Jibril sejak dia bertanya kepada beliau, sementara beliau tidak memberitakan Sahabat akan hal itu kecuali setelah selang waktu berlalu!”
Kemudian ungkapan dalam hadits: (مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ) mencakup setiap orang yang bertanya dan ditanya, maka setiap orang yang bertanya dan ditanya tentang Kiamat ini keadaannya adalah seperti itu (sama-sama tidak tahu). [10]
Demikian pula, tidak ada gunanya menyebutkan tanda-tanda dan mengabarkannya kepada penanya yang sudah mengetahuinya, lebih-lebih ketika ia tidak bertanya tentang tanda-tandanya.
Dan lebih aneh lagi dari pendapat ini adalah apa yang diungkapkan oleh as-Suyuthi dalam al-Haawi setelah mengungkapkan jawaban atas pertanyaan tentang hadits yang masyhur di kalangan manusia, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan berdiam di dalam kuburnya selama seribu tahun?” Dia (as-Suyuthi) berkata, “Saya jawab bahwa hal ini adalah bathil tidak ada landasannya sama sekali.”
Lalu diungkapkan bahwa beliau menulis sebuah buku dalam masalah ini dengan judul al-Kasyfu ‘an Mujaawazati Haadzihil Ummah al-Alf, di dalamnya beliau berkata:
Pertama, hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya masa umat ini lebih dari seribu tahun dan tambahannya tidak mencapai lima ratus tahun; karena diriwayatkan dari berbagai jalan bahwa umur dunia adalah tujuh ribu tahun, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus di akhir tahun keenam ribuan.[11]

Kemudian beliau menyebutkan beberapa perhitungan yang kesimpulannya sama sekali tidak mungkin jika masanya itu seribu lima ratus tahun. Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan landasan oleh beliau:
Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir dari adh-Dhahhak bin Zummal az-Zuhani, dia berkata, “Aku bermimpi, kemudian aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,” selanjutnya beliau menuturkan hadits yang di dalamnya diungkapkan:
إِذَا أَنَا بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلَى مِنْبَرٍ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ، وَأَنْتَ فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً. فَقَالَ: أَمَا الْمِنْبَرُ الَّذِيْ رَأَيْتَ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ وَأَنَا فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً، فَالدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ، وَأَنَا فِي آخِرِهَا أَلْفًا.
“Tiba-tiba saja aku di (dekat)mu wahai Rasulullah, di atas mimbar yang memiliki tujuh tangga, dan engkau berada di tangga yang paling tinggi,” kemudian beliau bersabda, “Adapun mimbar yang engkau lihat memiliki tujuh tangga dan aku berada di tangga paling tinggi, itu berarti bahwa (umur) dunia tujuh ribu tahun, dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” [12]
Beliau (as-Suyuthi) mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalaa-il, dan as-Suhail mengatakan bahwa hadits ini dha’if sanadnya, akan tetapi hadits tersebut diriwayatkan secara mauquf kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma melalui jalan-jalan yang shahih, dan ath-Thabrani [13] menshahihkan landasan ini dan menguatkannya dengan beberapa atsar.

Kemudian as-Suyuthi menjelaskan bahwa makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “... dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” Maksudnya adalah kebanyakan umat Islam berada pada tahun ketujuh ribu, agar sesuai dengan riwayat se-lanjutnya bahwa beliau diutus di akhir tahun keenam ribu. Seandainya beliau diutus di awal tahun ketujuh ribu, niscaya tanda-tanda Kiamat besar seperti Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa, dan terbitnya matahari dari barat telah di jumpai lebih dari seratus tahun sebelum masa kita ini, karena Kiamat terjadi tepat pada tahun ketujuh ribu, sementara tidak terjadi apa pun pada saat itu, maka hal ini menunjukkan bahwa sisa dari tahun ketujuh ribu lebih dari tiga ratus tahun. [14]
Ini adalah ringkasan perkataan as-Suyuthi rahimahullah, dan (perkataannya ini) berbenturan dengan ungkapan yang jelas di dalam al-Qur-an juga hadits-hadits yang shahih; bahwasanya umur dunia tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Allah Ta’ala. Karena jika kita mengetahui umur dunia, niscaya kita akan tahu kapan terjadinya Kiamat. Anda telah mengetahui sebelumnya dari ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabawi bahwa Kiamat tidak diketahui kapan terjadinya kecuali oleh Allah Ta’ala.
Demikian pula, bahwa kenyataan yang ada menolak hal itu (pendapat as-Suyuthi). Karena kita berada di awal abad kelima belas Hijriyyah, sementara Dajjal belum keluar, dan Nabi ‘Isa belum turun. As-Suyuthi menyatakan bahwa ada riwayat yang menyebutkan Dajjal keluar di awal seratus tahunan dan ‘Isa Alaihissallam turun, lalu membunuhnya. Kemudian beliau berdiam di bumi selama empat puluh tahun, manusia berdiam di bumi setelah matahari terbit dari barat selama seratus dua puluh tahun, dan jarak di antara dua tiupan (Sangkakala) adalah empat puluh tahun, ini semua mesti terjadi dalam masa dua ratus tahun [15]. Lalu berdasarkan perkataannya, seandainya Dajjal keluar sekarang maka mesti dua ratus tahun, sehingga terjadinya Kiamat setelah tahun seribu enam ratus.
Dengan ini jelaslah kebathilah setiap hadits yang membatasi umur dunia.
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitab al-Manaarul Muniif beberapa hal yang diketahui dengannya kepalsuan sebuah hadits. Beliau berkata, “Di antaranya adalah hadits yang menyelisihi nash al-Qur-an yang jelas, seperti hadits batasan umur dunia, yang mengatakan bahwa umur dunia hanya tujuh ribu tahun, sementara kita berada di masa ketujuh ribu tahun. Ini merupakan kebohongan paling jelas, karena seandainya hadits ini shahih, niscaya setiap orang tahu bahwa Kiamat akan terjadi dua ratus lima puluh satu tahun dari waktu kita sekarang ini.” [16]
Ibnul Qayyim hidup di abad kedelapan Hijriyyah, maka dia mengatakan perkataan seperti ini, dan telah berlalu dari perkataannya lebih dari enam ratus lima puluh dua tahun, akan tetapi dunia belum juga berakhir.
Ibnu Katsir berkata, “Adapun yang terdapat dalam kitab-kitab Israiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari bani Israil/Yahudi-ed.) dan Ahlul Kitab berupa pembatasan masa yang telah lalu dengan ribuan dan ratusan tahun, maka lebih dari satu orang ulama terang-terangan menyalahkan mereka di dalam hal itu, dan memperlakukan mereka dengan keras sementara mereka pantas untuk mendapatkannya, dan juga telah terdapat sebuah hadits:
اَلدُّنْيَا جُمْعَةٌ مِنْ جُمَعِ اْلآخِرَةِ.
“Dunia itu adalah satu pekan dari beberapa pekan di akhirat.”
Hadits ini sanadnya tidak shahih, demikian pula tidak shahih sanad setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya hari Kiamat secara tepat.[17]
Sebagaimana tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan muncul-nya tanda-tanda Kiamat. Riwayat yang menjelaskan bahwa pada tahun ini akan seperti ini, dan pada tahun ini akan terjadi hal ini, maka hal itu tidak benar, karena penanggalan belum dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ‘Umar bin al-Khaththablah yang menetapkannya sebagai sebuah ijtihad dari beliau, dan awal perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah.
Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang fitnah dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, dengan penentuan waktunya pada tahun tertentu membutuhkan cara yang benar (dalam menentukan keshahihan riwayat tersebut) yang bisa mematahkan segala ar-gumentasi, hal itu sebagaimana (menentukan) waktu terjadinya hari Kiamat, tidak seorang pun mengetahui pada tahun manakah ia akan terjadi, tidak juga pada bulan apakah? (Yang diketahui) bahwa ia akan terjadi pada hari Jum’at di akhir waktunya. Waktu di mana Allah menciptakan Adam Alaihissallam, akan tetapi Jum’at yang mana? Tidak seorang pun mengetahui tepatnya hari tersebut kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, demikian pula masalah tanda-tanda Kiamat, tidak seorang pun mengetahui waktunya yang pasti, wallahu a’lam.[18]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Sumber : Kategori Kitab : Hari Kiamat (1)
_______
Footnote
[1]. Al-Barzanji berpendapat bahwasanya Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, akan tetapi dilarang mengabarkannya. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal.
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya Shallallahu 'laihi wa sallam ‘anil Iimaan wal Islaam wal Ihsaan wa ‘Ilmis Saa’ah wa Bayaanin Nabiyyi Shallallahu 'laihi wa sallam lahu (I/114, al-Fat-h).
[3]. Musnad Ahmad (V/189, no. 3556), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Sunan Ibni Majah (II/1365), tahqiq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi, al-Bushairi berkata dalam kitab az-Zawaa-id, “Ini adalah sanad yang shahih, rijalnya tsiqah.”
Dan Mustadrak al-Hakim (IV/488-489), beliau berkata, “Ini adalah hadits yang isnadnya shahih, akan tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Akan tetapi Syaikh al-Albani melemahkannya dalam kitab Dha’iif al-Jaami’ish Shaghiir (V/20-21, no. 4712).
[4]. Maksudnya adalah tidak ada makhluk hidup yang hidup pada malam itu hidup selama seratus tahun, hal ini tidak menafikan adanya makhluk hidup lahir setelah malam itu yang mengalami hidup selama seratus tahun sebagaimana diungkapkan oleh an-Nawawi.-pent.
[5]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Radhiyallahu anhum, bab Bayaan Ma’na Qaulihi Shallallahu 'laihi wa sallam ‘alaa Ra'-si Mi-atis Sanah la Yabqa Nafsun Manfuusah (XVI/90-91, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'laihi wa sallam Bu’itstu Ana was Saa’ah ka Haataini, (XI/347, al-Fat-h).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (III/526).
[8]. Musnad Ahmad (I/314-315, no. 374), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.” Sementara lafazh Muslim adalah:
مَا أَتَانِي فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa pun kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.”
[9]. Shahiih Muslim kitab al-Iimaan, bab Imaaraatus Saa’ah (I/159, Syarah an-Nawawi).
Ibnu Hajar t berkata, “Adapun yang disebutkan di dalam riwayat an-Nasa-i dari jalan Abu Farwah di akhir hadits:
وَإِنَّهُ لَجِبْرِيلُ نَزَلَ فِي صُورَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.
‘Ia adalah Jibril yang turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi.’
Sesungguhnya ungkapan “turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi” adalah Wahm, karena Dihyah adalah orang yang dikenal di kalangan mereka, sementara ‘Umar berkata, “Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya.” Dan Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah meriwayatkan dalam kitabnya al-Iimaan dengan bentuk (jalan) yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i, di akhir ungkapannya beliau hanya bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan masalah agama kepada kalian.” Inilah riwayat al-Mahfuuzhah (yang terjaga) karena kesesuaiannya dengan riwayat yang lainnya, (Fat-hul Baari I/125).
[10]. Al-Manaarul Muniif (hal. 81-82), tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat ta’liq Syaikh terhadap ungkapan Ibnul Qayyim, lihat pula Majmu’ al-Fataawaa', karya Ibnu Taimiyyah (IV/341-342).
[11]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/86), karya as-Suyuthi, cet. II (1395 H), Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
[12]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/88).
[13]. Lihat kitab Taariikhul Umam wal Muluuk, karya Abu Ja’far ath-Thabari (I/ 5-10) cet. Darul Fikr, Beirut.
[14]. Al-Haawi (II/88).
[15]. Al-Haawi (II/87).
[16]. Al-Manaarul Muniif (hal. 80) tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat kitab Majmu’ al-Fataawaa (IV/342), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/15) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[18]. At-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa’ wa Umuuril Aakhirah (hal. 628), karya Syamsuddin Abi ‘Abdillah Muhammad Ahmad al-Qurthubi, disebarluaskan oleh al-Maktabah as-Salafiyyah, al-Madinah al-Munawwarah.

Jumat, 25 Mei 2012

NABI AHMAD DI DALAM AL-QUR’ÂN


Oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc.

{ وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ }

Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika ‘Îsâ Ibnu Maryam berkata, ‘ Hai Banî Isrâîl, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang bernama Ahmad.’ Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’.” (QS As-Shaff : 6)
Tafsir Ringkas

“Dan (Ingatlah)” wahai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “ketika ‘Îsâ Ibnu Maryam berkata, ‘ Hai Banî Isrâîl, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian.’.” Sebagaimana kalian beriman kepada Nabi Mûsâ, Hârûn, Dâwûd dan Sulaimân ‘alaihimussalâm, maka berimanlah kepadaku, bahwa aku adalah Rasulullah (utusan Allah) kepada kalian. Sebagai buktinya, aku “membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat,” yang mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah semata. Kesamaan antara kita menunjukkan bahwa sumber syariat kita sama, yaitu berasal dari Allah subhânahu wa ta’âla.
Selain itu, aku juga “memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku.”
Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm seperti para nabi sebelum beliau, mereka ‘alaihimussalâm selalu membenarkan  para nabi sebelumnya dan memberi kabar gembira akan datangnya nabi setelahnya. Nabi ‘Îsâ (Yesus) ‘alaihissalâm mengabarkan bahwa nama Nabi tersebut adalah Ahmad, yaitu Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
 “Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka” yaitu Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam “dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’.” Hal tersebut sama dengan apa yang dikatakan oleh Fir’aun kepada Nabi Mûsâ ‘alaihissalâm dan juga dikatakan oleh Banî Isrâîl terhadap nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm.[1]
PENJABARAN DAN TAFSIR AYAT
Siapakah Banî Isrâîl? Bolehkah menghina Israel?
Isrâîl (إِسْرَائِيْل)adalah nama Nabi Ya’qûb bin Nabi Ishâq bin Nabi Ibrahim ‘alaihimussalam. Sedangkan Banî Isrâîl (بَنِي إِسْرَائِيلَ)adalah anak-keturunan dari Nabi Ya’qûb ‘alaihissalâm. Hal ini tidak diingkari oleh orang-orang Yahudi.
Para Zionis/Yahudi telah membuat suatu negara yang dinamai dengan ISRAEL. Sebagai orang Islam, tentu kita tidak senang dengan penamaan tersebut, karena itu salah satu bentuk penghinaan terhadap Nabi Isrâîl atau Nabi Ya’qûb ‘alaihissalâm.
Negara Israel telah melakukan banyak hal yang membuat kaum muslimin murka. Akan tetapi, dibalik kemurkaan tersebut sering sekali sebagian kaum muslimin salah dalam berucap dengan mengatakan, “Terkutuk Israel! Hancurkan Israel!” atau dengan kata-kata yang semisal dengan itu. Perkataan itu sudah sepantasnya tidak “keluar” dari lisan kita, karena menghina Israil sama dengan menghina Nabi Ya’qûb ‘alaihissalâm.
Jika ingin menghina negara tersebut, maka janganlah lepaskan kata ‘negara’ dari kata ‘Israel’. Atau lebih amannya kita ganti dengan nama yang betul-betul aman dari penghinaan terhadap Nabi Ya’qub, yaitu dengan mengatakan, “Negara Zionis atau negara Yahudi.”

Apakah Nabi Ya’qub bertemu dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm?
Ya, Nabi Ya’qub ‘alaihissalâm bertemu dengan Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm. Inilah yang dikuatkan (di-râjih-kan) oleh Ibnu katsîr rahimahullâh di dalam tafsirnya dengan dalil Firman Allah subhânahu wa ta’âlâ :

{ وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ }

Artinya: “Dan Ibrâhîm telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qûb. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam!’.” (QS Al-Baqarah : 132)
Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf (yang terdahulu) membaca (يَعْقُوبُ) dengan (يَعْقُوبَ) sebagai ‘Athf dari (بَنِيهِ), yang berarti anak-anaknya. Seolah-olah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm mewasiatkan kepada anak-anaknya dan juga cucunya, yaitu Ya’qûb bin Ishâq.” [2]
Siapakah Nabi terakhir Banî Isrâîl?
Nabi ‘Îsâ bin Maryam ‘alaihis-salâm adalah nabi terakhir Banî Isrâîl.[3] Akan tetapi, kenabian Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm tidak diakui oleh sebagian Banî Isrâîl atau orang-orang Yahudi.
Pengabaran akan datangnya Nabi Ahmad shallallâhu ‘alaihi wa sallam oleh Nabi Ibrahim ‘alahissalâm dan Nabi Îsâ ‘alaihissalâm
Setiap Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ diikat dengan perjanjian oleh Allah untuk mengabarkan tentang akan diutusnya Rasulullah, yaitu Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Apabila beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam diutus, maka mereka harus mengikutinya, mendukung dan berjuang untuknya.
Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{ وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ .}

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’. Allah berfirman: ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab: “Kami mengakuinya.’ Allah berfirman: “Kalau begitu, saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.’.” (QS Âli ‘Imrân : 81)
Ibnu ‘Abbâs radhiallâhu ‘anhu bekata, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali Allah membuat perjanjian kepadanya, apabila dia (Nabi Muhammad) diutus, sedang Nabi tersebut hidup, maka dia akan mengikutinya. Dan Allah memerintahkan agar dia memerintahkan kepada umatnya, apabila Muhammad diutus sedangkan mereka hidup, maka mereka harus mengikutinya dan menolongnya.”[4]
Nabi Ibrâhîm ‘alahissalâm mendoakan agar diutusnya Nabi tersebut di kaum yang berada di sekitar Ka’bah setelah beliau dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam membangun Ka’bah. Doa tersebut tercantum di dalam Al-Qur’an:

{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ}

Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Baqarah : 129)
Begitu pula Nabi ‘Îsâ bin Maryam ‘alaihissalâm, beliau mengabarkan tentang akan datangnya Nabi setelahnya yaitu Nabi Ahmad shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tercantum pada ayat di atas.
Di dalam hadîts, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Abu Umâmah, “Ya Nabi Allah! Apa permulaan kenabianmu?” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:

( دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ وَبُشْرَى عِيسَى ، وَرَأَتْ أُمِّي أَنَّهُ يَخْرُجُ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ مِنْهُ قُصُورُ الشَّامِ. )

Artinya: “Doa bapakku Ibrâhîm, kabar gembira dari Îsâ dan ibuku melihat cahaya yang keluar dari dirinya yang menerangi istana-istana Syam.”[5]
Kabar tentang akan datangnya Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga tercantum di Taurat dan Injil. Allah subhânahu wa ta’âlâ mengabarkan di dalam Al-Qur’an:

{ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا }

Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan ke-ridha-an-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS Al-Fath : 29)
Sekarang ini, orang-orang Yahudi dan Nasrani mengingkari pernyataan di atas, Bagaimana ini?
Orang-orang Yahudi dan Nasrani disifatkan oleh Allah sebagai kaum yang suka merubah kitab suci mereka. Jadi, merupakan suatu yang wajar jika mereka menyembunyikan hal ini. Padahal mereka semua meyakini kebenaran hal tersebut. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ }

Artinya: “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 146)
Ahmad adalah salah satu nama Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa beliau memiliki banyak nama. Di antara nama beliau adalah Ahmad, sebagaimana tercantum pada hadits berikut:

( لِي خَمْسَةُ أَسْمَاءٍ أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَحْمَدُ وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللَّهُ بِي الْكُفْرَ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِي وَأَنَا الْعَاقِبُ. )

Artinya: “Saya memiliki lima nama: Saya adalah Muhammad dan Ahmad, saya adalah Al-Mâhi yang denganku Allah menghapuskan kekufuran, saya adalah Al-Hâsyir yang manusia nanti dikumpulkan di hadapanku dan saya adalah Al-‘Âqib (Yang terakhir).”[6]


Arti dari nama ‘Ahmad (أحمد)’
Ahmad berasal dari kata ‘hamd’ yang berarti pujian. Di dalam bahasa Arab, ‘Ahmad’ memiliki tiga arti:
  1. Menunjukkan makna paling/yang ter-  (Shîghah Al-Mubâlaghah) untuk kata ‘hâmid’ (orang yang memuji). Jadi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memuji Allah subhânahu wa ta’âlâ. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ ، وَبِيَدِي لِوَاءُ الحَمْدِ وَلاَ فَخْر. )

Artinya: “Saya adalah pemimpin anak Adam di hari kiamat dan aku tidak sombong. Di tanganku ada bendera puji-pujian dan aku tidak sombong. “[7]
  1.  Menunjukkan makna paling/yang ter- untuk kata ‘mahmûd’ (orang yang dipuji). Jadi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak dipuji oleh semua makhluk. Bahkan, Allah sendiri memuji beliau di dalam Al-Qur’an dengan sifat-sifat mulia dan di dalam Al-Qur’an Allah tidak pernah memanggilnya dengan namanya, tetapi dengan mengatakan, (يَا أَيُّهَا النَّبِي) dan (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْل) berbeda dengan Nabi-nabi yang lainnya, mereka dipanggil dengan namanya.
  2. Menunjukkan simbol dari kata ‘Muhammad (مُحَمَّد)’. Arti dari Muhammad adalah orang yang banyak dipuji dan di dalam bahasa Arab dapat disimbolkan dengan kata ‘Ahmad’.[8]
Tidak ada Nabi setelah Nabi Ahmad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Sangat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Ahmad atau Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ dan tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

{ مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا }

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzâb : 40)

( كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي. )

Artinya: “Dulu Banî Isrâîl dipimpin oleh para Nabi. Jika ada nabi yang wafat, maka akan digantikan oleh seorang nabi. Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku.”[9]
Kedua dalil di atas sangat jelas menunjukkan bahwa tiada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena siapa saja yang mengaku bahwa dia adalah seorang Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya dia adalah Kadzdzab (pendusta).
Pengabaran Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa akan muncul nabi-nabi palsu
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa sepeninggal Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan ada orang-orang yang mengaku Nabi. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(…وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي. )

Artinya: “Sesungguhnya di dalam umatku akan ada tiga puluh pendusta. Semuanya mengaku bahwa dia adalah nabi, sedangkan saya adalah penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku.” [10]
Setelah membaca dalil di atas, maka tidak ada alasan untuk membenarkan ajaran-ajaran nabi-nabi palsu yang baru seperti: Mirza Ghulam Ahmad, Lia Eden dan sejenisnya. Mereka bukanlah kaum muslimin dan jangan ragu untuk mengatakan bahwa mereka bukan beragama Islam.
Pengingkaran Banî Isrâîl atas apa yang dibawa oleh Nabi  Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Di akhir ayat, subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ}

“Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.”
Inilah tuduhan yang dituduhkan kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang kafir menuduh beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai penyihir karena beliau membawa mukjizat yang tidak masuk akal. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan ‘Rasul’ pada ayat di atas adalah Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm. Karena Banî Isrâîl juga mengatakan bahwa beliau ‘alaihissalâm adalah penyihir. Allahu a’lam, tidak ada pertentangan dari keduanya.
Tamma bifadhlillâhi wa karamih.
Prabumulih, 28 Jumâdâ Ats-Tsâniah 1432 H/31 Mei 2011

Sumber :
http://kajiansaid.wordpress.com/2011/07/24/nabi-ahmad-di-dalam-al-qur%E2%80%99an/

DaftarPustaka
  1. Al-Qur’ân dan Terjemahannya. Madînah: Kompleks Percetakan Mushhaf Raja Fahd.
  2. Adhwâul-Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân. Muhammad Al-Amîn Asy-Syinqîthi. 1415 H/1995 M. Libanon: Dârul-Fikr.
  3. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  4. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tinusia: Dar Sahnûn.
  5. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
  6. Tafsîr Al-Qur’ân Al-’Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
  7. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
  8. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.


[1] Tafsîr As-Sa’di hal. 859 dan Aisarut-Tafâsîr pada tafsir ayat ini.
[2] Tafsir Ibni Katsir I/446.
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir VIII/109.
[4] Tafsir Ibni Katsir VIII/110.
[5] HR Ahmad no. 22261, Al-Hakim no 4173, Ibnu Hibban no. 6404 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan, “Hadits ini shahih lighairih.” di catatan kakinya pada Musnad Ahmad dan Shahih Ibni Hibban.
[6] HR Al-Bukhari no. 3532 dan Muslim no. 6251.
[7] HR At-Tirmidzi no. 3148. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Sunan At-Tirmidzi.
[8] Lihat penjelasan di atas di dalam Ma’âlimut-Tanzîl VÎI/108-109 dan At-Tahrîr wa At-Tanwîr XXVIII/163-165.
[9] HR Al-Bukhari 3455 dan Muslim 4879.
[10] HR At-Tirmîdzi no. 2219. Beliau berkata, “Hadîts ini shahîh.”Hadîts ini di-shahîh-kan juga oleh Syaikh Al-Albâni di Shahîh Sunan At-Tirmîdzi.